PANTAI HAMADI BERPAYUNG PELANGI

Semburat lembayung mengiringi kemunculan pelangi di atas Pantai Hamadi. Sebagian pengunjung yang menanti matahari tenggelam terpana. Terpaan angin senja mengiringi senda gurau di bibir Teluk Yotefa. Inilah ruang publik Jayapura, Papua yang mulai ramai.

Hamparan pasir putih seolah menambah pesona langit dan bumi di pantai Yotefa. Pelangi seperti itu kerap kali muncul di kaki langit Teluk Yotefa.

"Dalam satu pekan bisa 1-3 kali. Jadi di sini orang-orang datang untuk berenang, duduk santai, berkumpul dan berseda gurau bersama keluarga." ujar Vince Afaar (48), warga Kelurahan Hamadi, yang mengaku pemilik tanah adat sekitar 500 meter persegi di bibir pantai itu.

Pantai dengan hamparan pasir putih halus itu mulai ramai dikunjungi warga Jayapura sejak tahun 2001. Saat itu belum ada tempat duduk atau pondok teduh seperti sekarang.

Pondok teduh dan tempat duduk sepanjang hampir 2,5 kilometer menyusuri bibir pantai sampai puluhan kilometer ke arah daratan itu, milik enam suku. Mereka adalah suku Ireuw, Afaar, Chayy, Hasor, Hanasbey, dan suku Hamadi. Setiap suku memiliki luasan lahan 5.000-10.000 hektar.

Sayang meski menjadi salah satu tujuan utama kunjungan warga Kota Jayapura dan sekitarnya, pantai itu belum dikelola baik oleh pemerintah setempat. Tidak ada WC umum, kamar mandi  atau kamar ganti, air bersih, tempat parkir kendaraan, dan tempat istirahat layak pakai.

Pantai dikelola secara perorangan atau suku sesuai kemampuan. Pondok teduh, para-para dan perahu pesiar yang parkir di sebelah utara pantai, milik pengelola pantai.

Setiap suku memiliki 2-4 pondok teduh, belum termasuk para-para (gubuk bambu). Satu pondok untuk 30-50 orang berteduh bertarif Rp.100.000, para-para untuk 10-15 orang Rp.50.000,- dan duduk-duduk beralaskan tikar Rp.30.000,-. Parkir kendaraan roda empat Rp.10.000, truk/bus Rp.20.000, dan roda dua Rp.5.000 per kendaraan. Pengeluaran ini khusus untuk pemilik tanah adat.

Kendaraan yang masuk dari pintu gerbang dipungut biaya Rp.10.000-Rp20.000 dengan karcis yang dikeluarkan Pemkot Jayapura. Pungutan ini dinilai sebagai bagian dari retribusi Kota Jayapura tetapi sebagian pengunjung meragukan pungutan itu.

Pantai ini sering digunakan kelompok masyarakat yang merayakan hari ulang tahun, acara syukuran, piknik keluarga, piknik instansi pemerintah dan lainnya. Biasanya berombongan terdiri dari 50-100 orang. Mereka menyewa satu areal khusus dengan biaya Rp.500.000-Rp.1 juta.

Tidak ada data resmi tentang pengunjung pantai per bulan. Namun rata-rata setiap pekan 200-300 orang terutama hari Sabtu dan Minggu. Para pengelola tidak membuat catatan jumlah pengunjung.

Yohanes Tukan, salah seorang penggemar Pantai Hamadi mengatakan, pungutan di pantai itu terlalu besar, mulai dari pintu masuk, tempat parkir kendaraan, dan tempat duduk (rekreasi). Setiap tempat sudah dikapling pemilik tanah sehingga pengunjung tidak bisa bergerak ke mana-mana kecuali duduk atau bermain di tempat yang sudah dibayar.

Pengaplingan itu bukan dari setiap suku, melainkan berdasarkan anggota keluarga dari suku itu. Tiap anggota keluarga memiliki kapling sendiri, mereka duduk berjaga setiap hari Sabtu,Minggu, dan hari libur. Hari-hari itu pengunjung sangat padat.

Perlu perhatian
Sebelum tahun 2005, pantai itu belum ditanami pohon. Kini lima tahun belakangan, dinas kehutanan setempat telah menanam cemara di sepanjang bibir pantai. Cemara itu sudah mencapai ketinggian sekitar 10 meter.

Samson Hamadi, juga pemilik salah satu kapling, mengatakan, Pemkot Jayapura perlu memberi perhatian terhadap pantai itu. Suda beberapa kali dinas pariwisata setempat mengundang warga pengelola pantai Hamadi, tetapi hasilnya belum tampak.

"Pemerintah berjanji membangun kamar mandi, WC, ruang ganti, dan bahkan tempat istirahat bagi pengunjung. Sayangnya, sampai hari itu belum ada realisasi.Pemerintah baru sebatas membuat beton pemercah gelombang yang ditampatkan sekitar 15 meter dari bibir pantai. Beberapa pengelola pantai mengajukan proposal bantuan pun belum ditanggapi. "Padahal sudah ada dana pemberdayaan masyarakat asli dalam otonomi khusus," kata Samson.

Jika pantai di pusat Kota Jayapura ini dikelola secara apik tapi murah meriah, tentu warga akan berjubelan di sini. Hanya dengan catatan mereka yang bertugas di pantai tidak boleh mabuk-mabukan apalagi berlaku kasar terhadap pengunjung.

Tampaknya, soal pengelolaan pantai sebagai tempat rekreasi orang Jayapura perlu berguru pada Pantai Segara Indah, Distrik Bosnik, Kabupaten Biak Numfor, Papua.

Pantai yang berada di pesisir selatan Biak itu jauh lebih tertata rapi. Tampak sederetan pondok berukuran 2 meter x 3 meter beratap seng. Juga tempat duduk panggung berjajar sepanjang 500 meter mengikuti lekuk pantai.

Oleh  Kornelis Kewa Ama
Kompas 26 Juni 2012

Popular Posts

counter