SENSASI DINGINNYA AIR DI PARAKU



Penuhi bak mandi dengan air dari kulkas, lalu berendamlah. Kita akan memperoleh gambaran seperti apa rasanya mandi di aliran deras Sungai Lubuak Paraku, Kelurahan Indarung, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat.

Sejuknya hawa sekitar aliran sungai di dataran tinggi itu juga menimbulkan sensasi lain seusai berendam di dalamnya. Asap tipis mengepul dari hidung dan mulut yang diembuskan. Asap yang sama juga keluar dari sekujur badan yang dilapisi baju renang tipis.

Pagi itu, pukul 09.00, Abil Pratama Noffa (4), dan ayahnya, Hermansyah (46), tengah mandi di situ.

Abil beberapa kali mendemonstrasikan kelihaiannya meloncat dari atas batu di pinggir sungai. Sementara Hermansyah pergi ke puncak batu besar di atas lubuk setelah bersabun di pinggir sungai.

Dari ketinggian batu sekitar 1 meter, ia melompat ke dalam lubuk. Airnya berwarna kehijauan yang diperoleh dari hasil pembiasan cahaya dasar sungai.

Sejumlah warga memanfaatkan aliran sungai itu untuk mandi ataupun mencuci pakaian. Aktivitas itu terutama berlangsung pada pagi hari ketika asap tipis masih mengepul saat orang berbicara.

Selain udara sejuk dan air dingin, kupu-kupu dan capung relatif mudah ditemui di kawasan itu. Kehadiran capung merupakan indikator kebersihan air.

Air Sungai Lubuak Paraku memang terlihat jernih. Dasar sungai yang dipenuhi batuan kecil terlihat dengan jelas. Inilah yang menjadi alasan lokasi itu ditetapkan sebagai salah satu kawasan wisata di Kota Padang.

Pada akhir pekan, terutama hari Minggu menjelang sore, puluhan pengunjung datang ke lokasi tersebut. ”Biasanya anak-anak remaja atau pengunjung keluarga yang mandi di bagian pinggir,” kata Ade Pramita Risman (18), salah seorang pengelola kedai makanan dan minuman.

Hingga tahun 2001, imbuh Ade, bahkan masih terdapat sejumlah tempat duduk dengan kanopi berbentuk payung dari bahan semen. Jumlahnya delapan buah, termasuk dua ruang ganti baju yang disiapkan.

Kini, tidak satu pun tersisa. Demikian pula dengan ruang ganti baju yang tidak terlihat lagi bagian pintu dan atapnya. Dindingnya kusam.

Lubuak Paraku terletak sekitar 25 kilometer ke arah timur pusat Kota Padang. Lubuak Paraku berada di jalur menanjak menuju Kabupaten Solok. Bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi ataupun menumpang sejumlah angkutan umum yang melaju ke arah Solok.
Menurut Ade, saat pengunjung penuh, setiap wisatawan biasanya dikutip uang masuk Rp 5.000. Namun, saat Kompas berkunjung pagi itu, tidak seorang pun mengutip uang.

Di Sungai Lubuak Paraku, bagian lubuk yang kini menjadi kawasan wisata terbentuk oleh aktivitas pengambilan batuan besar. Adapun bagian lubuk sebelumnya kini menjadi aliran deras biasa. Letaknya sekitar 4 meter ke arah arus berlawanan lubuk saat ini.

Rasidin (65), salah seorang warga, mengatakan, pada tahun 1974 sejumlah alat berat masuk ke pedalaman hutan kawasan itu. ”Batu-batu besar diambil untuk dipasang di kawasan pantai Kota Padang sebagai pemecah ombak,” kata Rasidin.

Lubuk merupakan palung di tengah aliran sungai yang terbentuk dari gelontoran air yang mengguyur deras di atasnya. Bagian lubuk mafhum diketahui sebagai tempat ikan-ikan berkumpul.

Menurut Rasidin, jenis ikan yang banyak terlihat ialah ikan gariang (Tor tambroides). Namun, dalam beberapa tahun terakhir jumlahnya semakin berkurang. Itu termasuk pula ikan mungkuih (Gobiidae) dan spesies belut besar dengan diameter sekitar 20 sentimeter dan penjang lebih dari 1 meter.

”Dulu, jika kita keluar untuk menangkap ikan, sudah bisa kita pastikan kepada orang di rumah untuk menyalakan api dan memanaskan wajan karena pasti dapat ikan. Sekarang ini belum tentu bisa seperti itu,” kata Rasidin.

Tahun 1965 ia bahkan punya pengalaman unik. Setelah sempat ”menembak” seekor belut besar dengan alat tradisional bertenaga tegangan karet, ia merantau ke Pekanbaru, Riau.

”Tembakannya kena mata belut, tapi belut itu berhasil kabur. Namun, sekitar 3,5 tahun kemudian, belut yang sama berhasil saya tangkap,” katanya.

Rasidin yang kini tinggal di kawasan Padang Besi, Kota Padang, masih memiliki 200 pohon kakao di kawasan itu.

Ia mengatakan, jumlah ikan gariang yang menurun terlihat dari ketiadaan ikan-ikan itu di pinggiran sungai. Padahal, sebelumnya, kata Rasidin, ikan-ikan jenis itu bisa ditemui dengan mudah.

Ferri Atmaja dari Kelompok Cinta Alam dan Lingkungan Hidup Rafflesia Universitas Andalas mengatakan, ikan gariang merupakan jenis yang menghuni sungai jernih. Karena itu, yang dicari ikan gariang adalah arah ke hulu sungai.

Berkurangnya populasi ikan gariang disebabkan beragam faktor, termasuk perubahan bentang alam sebagai dampak pembangunan yang cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan.

”Bisa jadi sebagian masyarakat juga ikut andil, seperti perambahan hutan serta cara penangkapan ikan dengan setrum atau racun. Kalau dulu kan hanya memancing sehingga populasi masih relatif banyak,” kata Ferri.

Pergeseran metode penangkapan ikan yang diiringi perkembangan tuntutan hidup, imbuh Ferri, juga menjadi penyebab.

Menurut Ferri, aliran Sungai Lubuak Paraku berhulu di kawasan Bukit Barisan di perbatasan Kota Padang dan Kabupaten Solok. Adapun muara aliran sungai itu berada di Batang Arau yang berujung di Pelabuhan Muaro, Kota Padang.

”Sungai Lubuak Paraku menjadi sistem daerah aliran Sungai Batang Arau. Di kawasan Indarung bertemu sejumlah anak sungai lain dan dimanfaatkan juga sebagai sumber tenaga PLTA Kuranji,” kata Ferri.

Kini, selain kakao dan mengandalkan kunjungan wisata, sebagian penduduk mengandalkan penghasilan pada tanaman seperti kakao. Sebagian lain bekerja di sektor jasa transportasi.

Akan tetapi, bertanam kakao bukan tanpa risiko. Resmaneli mengatakan, serangan penyakit yang membuat bagian daun dan buah seperti layu berlangsung hampir satu tahun terakhir. ”Bagian dalam buah coklat layu dan daunnya juga layu,” katanya.

Serangan penyakit itu baru terjadi sejak delapan tahun terakhir ia bertanam komoditas kakao. Kini, ada sekitar 1.000 pohon kakao yang ditanamnya di lahan kebun milik keluarga.

Akibatnya, harga jual biji kakao juga turun drastis. Resmaneli mengatakan, saat ini harga biji kakao Rp 16.000 per kilogram atau turun dibandingkan harga sekitar satu tahun sebelumnya, yakni Rp 23.000 per kilogram.

Sekitar 50 hektar hingga 100 hektar lahan di Lubuak Paraku ditanami kakao dari total sekitar 800 hektar lahan di Kota Padang yang ditanami kakao.

Kesejukan dan kesuburan yang membawa berkah.

Oleh Ingki Rinaldi
Sumber Kompas 17 Juli 2012

Popular Posts

counter