Puas menikrnati keindahan Danau Tondano yang terletak dijantung Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, setir mobilpun kami arahkan ke utara menuju wilayah Airmadidi. Perjalanan siang hari itu benar-benar terasa nyaman. Gumpalan-gumpalan awan putih seakan berlomba menepis teriknya sinar mentari yang lembut menyapa. Disepanjang perjalanan, pemandangan indah yang didominasi oleh permadani hijau lahan persawahan berlatar puncak-puncak pegunungan semakin membuat perjalanan kami bagaikan berkelana di daratan surga.
Setelah berkelak kelok selama 1 jam penuh melewati wilayah pegunungan yang lembab, akhirnya kami tiba di Sawangan. Berdasarkan informasi yang kami terima sebelumnya, di daerah ini terdapat sebuah situs peninggalan purbakala yang kerap dikunjungi oleh para turis sebagai salah satu obyek pariwisata.
Peninggalan purbakala ini akrab dengan sebutan Waruga atau Sarchophagi / Sarchophagus. Walaupun letaknya agak tersembunyi di dalam, tetapi tidaklah begitu sulit menemukan situs bersejarah ini. Ada sebuah petunjuk jalan berukuran besar di sebelah kanan jalan yang membantu kami menemukan lokasi tersebut.
Peninggalan dan abad ke-9 ini sebenarnya adalah makam kuno. Dan memang benar, ketika kami tiba di lokasi, di depan kami terhampar sebuah lahan pemakaman berukuran sedang. Untuk tiba di lokasi keberadaan Waruga, kami harus melewati beberapa makam penduduk sekitar yang tertata mengelilingi Waruga. Terlihat beberapa pohon berusia renta yang berdiri enggan di tengah-tengah lokasi. Di dalam kompleks pemakaman ini terdapat sekurang-kurangnya 144 Waruga yang didampingi oleh sebentuk museum kecil. Mengikuti kepercayaan yang berlaku, keseluruhan waruga ini dibangun dengan posisi menghadap ke arah matahari terbit.
Waruga sendiri sebenarnya adalah bangunan makam batu berbentuk kotak dengan atap yang menyerupai prisma. Di tengah bangunan makam ini terdapat sebuah lubang yang cukup besar. Menurut legenda yang dipercaya, pada jaman dahulu kala, seseorang biasanya diberi firasat tertentu mengenai kapan dia akan menjumpai ajalnya. Berdasarkan wangsit yang diterimanya, mereka kemudian tanpa bantuan siapa pun membawa bongkahan bongkahan batu besar atau sarcophagus di atas kepalanya ke tempat yang sudah ditentukan.
Sarcophagus ini kemudian diletakkan di atas tanah. Setelah itu, ketika si pembawanya meninggal dunia, maka dia diletakkan di dalam lubang sarcophagus tersebut dalam posisi duduk di atas sebuah mangkuk porselen. Tradisi yang berlaku mengijinkan jenasah dihiasi oleh berbagai jenis perhiasan yang dimiliki, tetapi pemakaian baju sama sekali dilarang. Setelah itu penutup makam berbentuk prisma diletakan di atas lapisan bahan penutup.
Meski sudah ditutup sedemikian rupa, tetapi godaan untuk “memiliki” perhiasan yang dikenakan oleh sang jenasah seringkali tak terelakan. Sehingga mengakibatkan waruga-waruga tersebut dibongkar paksa oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan akhirnya kepingan-kepingan batu penyusunnya berserakan kemana-mana.
Setiap waruga dihiasi dengan berbagai ornamen pahatan yang menggambarkan jabatan si jenasah~semasa hidupnya. Ukiran-ukiran ini juga menceritakan bagaimana proses kematian yang dialami dan karakteristik sang jenasah.
Pada sebuah waruga terlihat hiasan yang melukiskan seorang wanita yang tengah menjalani proses kelahiran. Pada saat-saat tertentu, banyak wanita yang mengalami masalah kesuburan mendatangi waruga ini dan berdoa memohon untuk diberi karunia seorang anak. Setiap malam bulan purnama, penduduk yang tinggal di sekitar waruga ini melakukan prosesi upacara tertentu. Upacara ini secara khusus dipimpin oleh para tetua atau sesepuh yang dihormati.
Museum yang berada di dalam komplek pemakaman purbakala in imenampilkan contoh-contoh isi yang terdapat di dalam sebuah waruga. Ada sebuah kepercayaan tradisional kuno bahwa para leluhur suku Minahasa memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran manusia normal. Hal ini ternyata secara tidak langsung dapat dibuktikan dengan melihat berbagai perhiasan peninggalan bersejarah mereka yang memiliki ukuran lebih besar dari ukuran perhiasan pada umumnya.
Menurut paparan sejarah, pada tahun 1828, sebuah penyakit epidemic menyerang wilayah sawangan. Kondisi yang serba tidak menguntungkan ini memaksa pemerintahan kolonial Belanda melarang pelaksanaan prosesi penguburan jenasah di atas permukaan tanah seperti yang selama ini berlaku dengan Waruga.
Keberadaan waruga sebagai salah satu obyek wisata Minahasa sepertinya menyajikan dimensi lain dan arti sebuah kunjungan wisata. Datang mengunjungi waruga, bagaikan membenturkan dua arah yang berbeda, masa lalu dan masa mendatang. Kami seolah berada dalam pusaran waktu masa lalu yang menyedot dan kemudian melemparkan kami menuju masa depan yang abadi.
Anda tidak percaya ? Cobalah datang berkunjung dan alami pengalaman kami
Sumber : Majalah Archipelago -Mei-Juni 2005
Foto : Majalah Archipelago
m_pamungkas