Inilah Gunung Raja bagi suku Karo, Sumatra Utara. Karena mudah didaki, di saat libur jumlah pendaki membludak, Sekadar berkemah atau menunggu sunrise.
Terletak di ketinggian 2.094 dpi (di atas permukaan laut), Gunung Sibayak tampak menonjol di dataran tinggi Kabupaten Karo. Sayang, puncaknya sudah porak poranda akibat letusan di zaman dulu. Tapi ia masih dianggap gunung api aktif. Kawahnya selalu mengeluarkan suara gemuruh dan asap tebal. Hal ini merangsang banyak pendaki menuruni kawah, untuk menonton dari dekat gelegak belerang menusuk hidung yang berasal dan perut bumi.
Ada tiga titik pendakian, yakni dari Desa Raja Berneh (Semangat Gunung), dan Kota Brastagi, dan dari pinggir jalan raya Medan - Brastagi di Km 54. Gunung ini tak sulit didaki, bahkan oleh Seorang pemula sekalipun. Di malam minggu atau hari libur ramai sekali pendaki yang menaikinya.
Pesona Puncak
Kalangan amatir biasanya mulai mendaki Sekitar pukul 20.00 hingga 02.00 dini hari. Mereka ingin mentari terbit di puncak gunung. Sedangkan para pencinta alam lebih memperhatikan faktor keselamatan. Mereka bergerak pada pagi hari, agar lebih biasa menikmati keindahan pemandangan, dan sempat melepas lelah setiba di puncak
Dari puncak, di kejauhan tampak Kota Brastagi, Kabanjahe, Bandar Baru, Sibolangit, Pancurbatu, bahkan Medan di kaki langit jika cuaca cerah. Bila hujan, faktor kondensasi yang tinggi menimbulkan tabir kabut cukup tebal.
Daya tarik puncak Sibayak bukan hanya itu. Di balik”Tapal Kuda” (puncak tertinggi) ada sehampar telaga tempat para pendaki mengisi pundi-pundi air mereka. Sehabis dipakai minum dan memasak. Bila diamati saksama, telaga ini tercipta akibat bentuknya berupa cerukan, yang menjadi” muara” bagi air hujan yang ditangkap dan disimpan oleh hutan sekitar. Kawasan ini sering disebut cacthment area.
Masih ada lagi. Jika berjalan 10 menit ke arah utara, terdapat sumber air panas yang disalurkan dalam beberapa pipa. Setelah mendaki di tengah udara puncak yang menusuk tulang, para pendaki biasa mampir ke sini merendam kaki atau bahkan mandi air panas. Setiap wisatawan mancanegara juga selalu menanyakan lokasi air panas ini.
Bagi masyarakat Karo penganut aliran kepercayaan, lokasi ini dijadikan tempat keramat, sebab diyakini dan sinilah asal muasal roh nenek moyang. Saat bulan purnama, atau waktu tertentu lainnya, sering dijumpai serombongan penduduk mendaki sambil membawa aneka sesajian. Mereka akan melakukan upacara penyembahan roh nenek moyang.
Kerucut Vulkanik
Dilihat bentuk morfologinya, Gunung Sibayak merupakan gunung api kembar dengan Gunung Pintau (2.212 m) berbentuk kerucut dengan lebar kawah 900 m, terdiri atas lava padat (Newman van Padang, 1951). Sedangkan Santoso dkk. (1987) membagi morfologi daerah ini menjadi beberapa puncak tertinggi, yakni Gunung Pintau, Sibayak, dan Pertetekan. Adapun yang membentuk tapal kuda (caldera ring) adalah Gunung Sempulenangin (1.437 m), Singkut (1.680 m), Uncim (1.840 m), dan Bukit Pintau (1.882 m).
Gunung Sibayak yang sekarang berada dalam kaldera tua merupakan Sibayak Muda. Ia memiliki beberapa kawah yang terdiri atas lapangan solfatara dan fumarola. Di bagian tengah kaldera tua terdapat Gunung Pertetekan.
Luas kaldera diperkirakan 900 m2, dengan dinding utara ditutupi pirokiastik produk Gunung Pintau (2.212 m). Sedang dinding barat terdiri atas aliran lava cukup tebal.
Satuan morfologi kompleks Gunung Sibayak terdiri atas beberapa kerucut vulkanik, masing-masing menjadi pusat erupsi. Kerucut vulkanik ini disusun oleh aliran lava dan kubah lava. Kerucut Gunung Pintau dan dua buah kubah lava di bagian selatan dihasilkan oleh aktivitas terakhir. Hasil erupsinya banyak mengeluarkan batu apung (pumice).
Van Bemmelen (1949) menyebutkan, produk gunung api Sibayak terbentuk antara endapan pra-Toba dan pasca-Toba (Peta Geologi daerah Danau Toba). Stratigrafinya dihubungkan dengan pembentukan Danau Toba. Diterangkan, telah terjadi letusan tuff Toba yang diduga membentuk Gunung Singkut, diikuti pembentukan collapse Danau Toba. Erupsi kedua membentuk Gunung Sibayak – Gunung Pintau, gunung api Sinabung, dan Pusuk Bukit, yang menyebabkan miringnya Pulau Samosir ke arah barat daya.
Rute Pendakian
Ketiga titik perndakian dapat di caopai dengan menumpang bus jurusan Medan – Brastagi, ongkos per orang Rp.8000,- Untuk rute Brastagi, pendakian dimulai dari belakang Bukit Gundaling. Dari sini kita naik angkutan pedesaan dulu, sebelum tiba di pintu rimba pendakian. Karena jalurnya cukup jelas, banyak pendaki pemula menggunakan jalur ini untuk menuju puncak. Bagi turis, jalur alternatif ini sering digunakan, karena letaknya tak jauh dari pengi-napan mereka. Hanya kita harus membawa cadangan air ekstra banyak, karena sumber air sulit ditemukan. Selain itu, perjalanan menanjak terus-menerus selama 3 – 5 jam menimbulkan rasa bosan.
Rute pendakian tercepat dimulai dari Desa Raja Berneh (Semangat Gunung), sekitar 7 km dari jalan raya Medan - Brastagi, melewati pemandian air panas Lau Sidebuk-debuk. Setibanya di tempat ini, suasana dingin khas pegunungan plus aroma belerang, terasa akrab menyapa. Di tempat ini juga banyak ditemukan sumber panas bumi.
Berbeda dengan rute Brastagi, jalur ini berupa tangga yang disusun sedemikian rupa menuju puncak. Mungkin, karena ingin cepat sampai di puncak, Belanda akhirnya membuat jalur yang memotong punggungan Sibayak. Karenanya, rute ini begitu menanjak dan amat membosankan, meski lebih cepat tiba di puncak, hanya 2,5 - 3 jam perjalanan.
Desa Raja Berneh cukup subur, karena terletak di kawasan pegunungan. Tak heran jika pada hari Sabtu, Minggu, atau libur, desa ini dikunjungi banyak turis lokal dari Medan, yang memborong sayur dan buah-buahan segar dengan harga murah yang banyak ditawarkan penduduk, setelah mereka berendam di kolam air panas.
Rute Ekstrem
Jika ingin dari rute 54, kita harus turun di samping PT Aqua Tirta Sibayakindo. Jalur ini disebut begitu karena terletak tepat di titik Km 54 jalan raya Medan – Brastagi.. Dibandingkan dengan dua jalur lainnya, jalur ini tergolong lebih sulit, karena hanya berupa jalan setapak yang di beberapa sisinya amat membingungkan. Dulunya memang jalur rintisan para pemburu, yang pada tahun 1980-an diteruskan oleh anak-anak pencinta alam. Dalam perkembangannya, rute ekstrem ini juga disukai wisatawan mancanegara.
Jalur 54 ini memang lebih menantang. Di sepanjang perjalanan kita dapat menikmati kicau burung dan teriakan monyet. Populasi tumbuhannya juga tergolong rapat. Kontur tanah yang naik-turun membuat aroma petualangan lebih terasa. Apalagi di beberapa sisi jalur kita dapat menemukan sumber air, Sehingga tak perlu khawatir kehausan selama perjalanan.
Biasanya, para pendaki yang mengambil rute ini tak langsung ke puncak. Mereka menginap dulu di sebuah shelter, di lereng gunung, setelah letih tiga jam berjalan. Baru esok harinya pendakian dilanjutkan, dalam keadaan kondisi fisik bugar kembali.
Selama menapaki jalur yang makin lama kian menanjak, sedikit demi sedikit pemandangan ikut berubah. Pepohonan besar yang tadinya menghiasi perjalanan, lambat laun berganti dengan tumbuhan pandan, yang diikuti tanaman perdu, ciri khas kawasan puncak.
Setiba di puncak dan jalur 54, perjalanan turun harus ekstra hati-hati. Jurang menganga di sisi kiri siap menelan. Biasanya, saat hari masih cerah, angin puncak datang mendera, beradu dengan aroma dan gemuruh kawah belerang
Itulah detik-detik mengesankan, menghirup bau tubuh Sang Gunung Raja.
Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
Jekson Simanjuntak