“Dek zaman berjuang banjur kelingan anak lanang.Biyen tak openi, saiki embuh neng endi. Neng gunung tak wenehi sega jagung. Neng gunung tak silihi caping gunung.... (Di zaman perjuangan saya teringat anak lelaki. Dulu saya besarkan, sekarang entah pergi ke mana. Di pegunungan saya dijamu nasi jagung. Di pegunungan saya dipinjami topi caping)”.
penggalan lirik tembang Caping Gunung gubahan komponis Gesang itu didendangkan lelaki tengah baya sembari ngguyang, memandikan ternak sapi di Kali Gembyong, Gunung Kidul. Tembang dalam bahasa Jawa itu bertutur tentang seorang pejuang kemerdekaan yang teringat anak lelakinya. Perang usai, anak lelakinya raib entah ke mana. Pejuang itu bergerilya di pegunungan seribu. Penduduk menjamu gerilyawan ampok, nasi jagung, Ia mendapat pinjaman caping buat menahan panas terik maupun tampias hujan.
Banyu tumibo, air terjun Gembyong, Jembatan Gantung Lemah Abang, Lembah Salaran, dan Watu Wayang merupakan tempat jungle tracking yang otentik. Tempat eksotis ini nyaris belum terjamah orang Yogyakarta. Bentang alam wilayah barat daya
Kabupaten Gunung Kidul itu keindahannya tak terpermanai. Jauh dari kesan gersang sebagaimaina citra umum pegunungan karst. Panorama sosialnya menggetarkan dan menyentuh hati. Lokasi lembah dan bukit di dataran tiriggi ini berbatasan dengan Piyungan, Kabupaten Bantul dan Prambanan, Kabupaten Sleman. Daerah ini mudah dijangkau. Hanya 30 menit dari Ambarukmo Plaza Yogyakarta.
Jungle tracking jenis olahraga menyusuri lembah dan mendaki perbukitan.Lebih berat ketimbang hash, tetapi lebih ringan dibandingkan mendaki gunung. Lembah-lembah di kaki Watu Wayang surga bagi para jungle tracker buat rekreasi, detoksifikasi, relaksasi, dan kontemplasi. Udaranya sejuk Kemiringan lerengnya menantang. Semak belukar, aneka perdu, dan pepohonan menyemburkan aroma terapi yang bagus buat membersihkan paru-paru yang terpapar nikotin dan timbal.
Lembah-lembah Watu Wayang tersebar di Desa Ngoro-Oro dan Desa Terbah, Kecamatan Pathuk Gunung Kidul. Bisa dijangkau dari pusat kota Yogyakarta ke arah Wonosari via Piyungan. Bisa juga dicapai dari Prambanan lewat Bokoharjo, Munggur, dan Pereng. Kendaraan bisa dititipkan di rumah-rumah penduduk di sekitar Puskesmas Tawang Sari. Dan sinilah, jalur tracking bisa langsung dipilih. Bagi pemula, sebaiknya mengambil rute ringan Dusun Salaran. Dusun ini jendela pegunungan seribu. Itu sebabnya seluruh stasiun TV nasional maupun lokal memilih dusun yang berada di tubir jurang ini sebagai stasiun relay. Salaran, dari kejauhan, memang tempat parade pemancar TV.
Di dasan jurang terdapat ngarai berbentuk terasering dengan bentang morfologi alam sangat permai. Eksotisme Lembah Salaran setara dengan persawahan subak Tabanan, Bali, maupun Ngarai Sianuk, Sumatera Barat. Lembah Salaran di musim hujan ditanami padi. Salaran, meminjam ungkapan Kahlil Gibran, lembah kegembiraan.
Via dell consolazione. Jalan menurun yang menawarkan sukacita. Jalan setapak menuju Lembah Salaran agak curam. Lembah ini jalur alternatif bagi tracker berpengalaman pergi pulang menyusuri Banyu Tumibo Gembyong.
Di atas air terjun Gembyong membentang jembatan gantung Lemah Abang. Jembatan penghubung Gunung Kidul dengan Sleman ini acap dijadikan tempat roman-romanan bagi remaja ABG di daerah perbatasan itu. Jembatan gantung yang dibangun tahun 1994 tampak labil. Bergoyang hebat saat dilalui Sepeda motor maupun pejalan kaki.
Kali Gembyong merupakan tempat pertemuan arus Kali Lemah Abang, Prambanan, dengan Kali Semilir, Gunungkidul. Perjalanan menuju Watu Wayang lewat Dusun Tawang Sari maupun Dusun Semilir kendati indah terasa terjal, berkelok, dan mendaki. Rute menuju salah satu bukit tertinggi di pegunungan seribu itu menggambarkan via dolorosa penduduknya. Kehidupan yang penuh bercak kesulitan dan bergelimang penderitaan. Simplex veri Sigillum. Di dalam kesederhanaan terdapat kebenaran. Panorama sosial itu hendak menegaskan bahwa kebajikan hidup itu harus ditempuh lewat rute bersahaja. Via dell’ umia.
Penduduk di kaki Watu Wayang harus bergulat dengan kemiskinan abadi. Mereka menanam, merawat, dan menjual hasil bumi yang tidak memberikan nilai lebih apa pun. Benteng pertahanan ekonomi mereka ternak sapi, pohon jati, mahoni, dan sono keling. Sapi dijual dan pepohonan direbahkan buat biaya anak-anak masuk SMP atau SMA. Lulus sekolah, para pemuda menceburkan diri di samudra eksploitasi sebagai buruh kota . Kaum perempuannya terperangkap kebiasaan kawin muda.
Wanga dusun sangat ramah terhadap tracke. Akan tetapi, mereka tetap tak bisa menyembunyikan perasaan heran. Mengapa ada orang Yogyakarta mau bersusah payah di daerah cedak watu adoh ratu, dekat bebatuan jauh dan pusat pemerintahan?
Watu Wayang yang bersebelahan dengan Gunung Nglanggeran bukan obyek wisata. Bukit permai itu secara kebetulan Maret lalu ditemukan “Kere Hore Jungle Tracker Community”. Komunitas beranggotakan guru, pensiunan, tentara, penulis, editor, desainer, dan pegawai rendahan yang memiliki falsafah sugih ning ora nyimpen, kaya tapi tidak punya apa-apa. Harta milik mereka adalah rasa syukur saat tubuh tampias keringat sesampai di atap Watu Wayang. Hanya mereka yang pernah terempas di lembah ketiadaan yang bisa merasakan nikmatnya berada di puncak gunung sukses. Alegori seperti inilah salah satu kekayaan Kere Hore.**
J SUMAIWIANTA
Guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta
KOMPAS, MINGGU, 28 JUNI 2009
Foto : Harian Kompas