Jalan-jalan ke kota Medan
Jangan lupa mampir Tangkahan.
Naik gajah keliling hutan.
Petik durian buat kerabat Tuan.
Siapa lagi kalau bukan orang utan.
Itulah pantun yang menggambarkan betapa menariknya hutan Tangkahan. Tak berlebihan jika kawasan ekowisata ini bisa membuat pengunjung jatuh cinta dan enggan pulang. Di tempat ini bisa dinikmati rindangnya hutan, damainya suara alam, gemericiknya air sungai yang bening, gemuruh air terjun, kicau baurng bersahut-sahutan, riuh monyet yang berloncatan di pucuk-pucuk pohon kayuraja, dan masih banyak lagi pesona alam lainnya.
Tangkahan terletak sekitar 100 km arah barat laut Medan, dekat perbatasan dengan wilayah Aceh. Dari arah Medan, untuk mencapai tempat ini harus melewati Binjai dan Stabat, menembus kebun-kebun karet dan kelapa sawit di atas kendaraan yang berguncang-guncang.
Di Terminal Pinang Baris, Medan, bisa dipilih bus jurusan Tangkahan langsung atau jurusan Simpang Robert, sebelum perjalanan dilanjutkan ke Tangkahan dengan naik ojek. Dari Medan dibutuhkan waktu sekitar 4 - 5 jam untuk sampai ke sana. Cukup lama, memang. Maklum, kendaraan tak bisa melaju kencang lantaran aspal jalanan banyak berlubang.
Itu pun jika perjalanan lancar. Jika roda bus terperosok ke dalam tanah, perjalanan bisa lebih lama lagi. Harus menunggu gajah datang untuk menarik badan bus keluar. Tapi, rasa capek sepanjang perjalanan dijamin akan segera lunas begitu kita turun dan bus dan naik sampan menyeberangi Sungai Buluh, menuju penginapan.
Hutan tropis Tangkahan berada di wilayah konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). TNGL merupakan salah satu cagar alam penting di Sumatera Utara. Cagar alam ini bahkan termasuk salah satu world heritage site (situs warisan dunia). Bukan milik Indonesia.
Yang istimewa dari kawasan wisata ini bukan hanya pesona alamnya, tetapi juga nilai sosial di baliknya . Sebelum dijadikan kawasan wisata alam, hutan Tangkahan adalah rambah liar. Sungai Buluh biasanya menjadi jalur transportasi gelondogan kayu meranti dan kayuraja yang dijarah. Jejak penebangan liar masih terlihat dari sisa-sisa gelondoingan kayu di sepanjang badan sungai.
Namun, sejak diubah menjadi kawasn ekowisata tahun 2001, hutan Tangkahan menjadi sumber penghasilan warrga setempat dari sektor pariwisata. Dengan bantuan Indecon (Indonesia Ecotourism Network) dan FFI (Flora & Faunia International), dua lembaga swadaya masyarakat di bidang konservsai alam. Masyarakat setempat membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Banyak pekerja wisata di tempat ini yang dulunya penebang liar tapi sudah ”bertobat”
Patroli gajah
Dua hal sekaligus bisa dilakukan ketika mengunjungi hutan Tangkahan yaitu berwisata alam yang tak gampang ditemui di tempat lain sembari turut serta dalam usaha melestarikan hutan.
Begitu sampai di tempat ini kita bisa menghangatkan badan dan menyegarkan pikiran dengan berendam di sumber air panas yang airnya langsung menyatu dengan aliran Sungai Buluh. Puas berendam, bisa langsung mandi di bawah air terjun sambil merasakan sensansi “pijat alam” dengan membiarkan air terjun menerpa punggung. Lokasi keduanya tak jauh dari penginapan. Hanya perlu menyeberangi dan menyusuri sungai yang airnya kira-kira setinggi pinggang.
Esok harinya, pengalaman langka sudah menunggu, yaitu sehari beraktivitas bersama Ardana, Agustin, Eva, Yuni, Sari, Olive, dan Theo. Jangan salah sangka. Mereka bukan cewek-cewek asli Tangkahan, tapi gajah-gajah sumatra yang sudah dijinakkan.
Saat ini Tangkahan punya tujuh ekor gajah jinak. Mereka dulu gajah-gajah liar yang “bermasalah”. Sebagian ditangkap karena merusak tanaman penduduk. Setelah itu lalu “disekolahkan” di Pusat Latihan Gajah di Aceh. Sehari-hari gajah-gajah itu dipakai sebagai kendaraan patroli hutan oleh Conservation Response Unit (CRU, Unit Patroli Konservasi) hutan Tangkahan.
Jika biasanya cukup puas menonton gajah di kebun binatang, ditempat ini kita bahkan bisa mengikuti rutinitas mereka selama sehari. Di pagi hari kita bisa naik gajah yang ini -un menuju kali untuk mandi. Hewan-hewan bongsor berbobot sekitar dua ton itu jebar-jebur di sungai mirip anak-anak kecil bermain air. Bayangkan, betapa gajah-gajah itu akan terusir dari habitatnya jika sungai mengering lantaran hutan dijarah.
Karena sudah jinak, mereka bisa diajak bersalaman. Jika disuruh, dengan senang hati mereka pun akan “memandikan” kita dengan air sungai yang disemprotkan dengan belalai sebagai selangnya.
Puas menyaksikan Ardana dan kawan-kawannya mandi, kita bisa ikut memberi mereka sarapan. Menunya dodol gajah yang terbuat dari adonan dedak, gilingan jagung, dan gu1a merah. Setelah itu lalu menunggang Ardana, ikut tim berpatroli menyusuri sungai, keluar masuk hutan, menerobos lebatnya perdu dan rimbunnya pohon-pohon bintaro.
Biar terasa lebih rimbawi, kita boleh naik punggung gajah tanpa pelana. Cuma mesti hati-hati, karena kita mesti pandai menyesuaikan diri dengan gerakan badannya yang bergoyang ke kanan dan ke kiri. Sayangnya, naik gajah tanpa pelana membuat kita sulit untuk memotret pernandangan alam di sepanjang perjalanan. karena kedua tangan harus tetap berpegangan. Jika memotret menjadi prioritas, bolehlah punggung Ardana dipasangi pelana.
Selesai ikut patroli gajah, kembali ke penginapan tidak perlu naik gajah lagi tapi bisa melakukan tubing, menghanyutkan diri di sungai. Tubing mirip arung jeram, tapi menggunakan ban dalam traktor sebagai pelampung. Jangan khawatir, aliran sungainya tidak sampai membuat detak jantung berpacu. Cara ini banyak dipakai oleh penduduk setempat ketika pulang dan kebun sawit. Bisa saja memilih naik kano, jika ingin terasa lebih alami. Sambil tubing atau naik kano, perjalanan kita ditemani panorama indah di sisi-sisi sungai yang penuh dengan aneka batu besar dan pohon- pohon yang menjulur ke kali.
Pada musim durian, hutan Tangkalan berubah menjadi surga bagi kaum penggemar buah beraroma menyengat ini. Konon, rasa buah durian hutan berbeda dengan durian kebun. Sambil duduk di pinggir sungai, para pengunjung bisa memanjakan diri, makan durian yang baru dipetik. Betapa enaknya!
Ketemu orangutan
Lewat jalur-jalur trekking, hari berikutnya kita bisa menikmati suasana kehidupan di tengah rimba. Saat berangkat di pagi hari, kita disambut suasana syahdu yang diwarnai garis-garis cahaya Matahari menerobos celah-celah tajuk pepohonan yang tingginya belasan meter. Mengingat banyaknya pacet (kecill mirip lintah) disepanjang jalur trekking. Pakaian yang kita kenakan mesti cukup rapat. Kalau perlu, olesi pula kulit dengan krim anti serangga.
Jalur trekking bisa dipilih sesuai selera. Untuk maksud jalan-jalan, family trek mungkin cocok. Untuk tujuan eksplorasi keanekaragaman hayati, education trek lebih tepat. Kalau ingin merasakan petualangan yang lebih menantang, bisa dipilih adventure trek.
Sebagaimana objek wisata alam lainnya, aturan yang berlaku di hutan ini pun sama: Jangan mengambil apa pun dari hutan kecuali memotret, dan jangan tinggalkan apa pun kecuali jejak kaki.
Sebagai bagian dan TNGL, hutan Tangkahan merupakan benteng terakhir dan banyak spesies langka, baik flora maupun fauna. Sebagian tergolong spesies yang dilindungi karena terancam punah. Dan deretan flora, terdapat bunga rafflesia (Rafflesia arnoldii) dan bunga bangkai (Alnorphophallus titanum). Keduanya bunga langka yang biasanya hanya dapat dijumpai di buku-buku pelajaran ilmu pengetahuan alam.
Dan daftar fauna, terdapat gajah Sumatra (Elephas maximus suinatranus), badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), hingga orangutan sumatra (Pongo abelii). Di sepanjang jalur trekking, bisa dijumpai sarang orangutan di cabang-cabang pohon. Jika sedang mujur, kita bisa bertemu dan melihat langsung “saudara tua kita” ini berayun-ayun di dahan.
Sebagai bagian dan TNGL, Tangkahan sebetulnya juga merupakan daerah jelajah harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae). Tapi untuk binatang yang satu ini, siapa sih yang berharap ingin bertemu?
Selain berbagai jenis satwa itu, hutan Tangkahan juga merupakan rumah bagi aneka jenis burung. Di tempat ini penggemar bird watching (pengamatan burung) bisa-bisa lupa pulang. Di tengah kesunyian hutan kicau burung dan suara ribut monyet-monyet yang bergelayutan di ranting-ranting pepohonan ibarat orkestra rimba yang asyik untuk didengarkan. Di malam hari suara hewan-hewan berubah menjadi simfoni alam yang meninabobokkan.
Jika punya banyak waktu. wisata bisa dilanjutkan dengan mengunjungi gua seribu lorong. Disebut demikian karena gua itu memiliki banyak lorong di dalamnya. Dari Tangkahan, menyusuri aliran sungai. wisata juga bisa dilanjutkan ke Pantai Kupu -kupu. Penggemar kupu-kupu jangan-jangan bisa mati berdiri, karena di tempat ini pelancong bisa menjumpai aneka jenis kupu-kupu beterbangan bebas di pantai.
Selain melayani wisatawan perorangan, Tangkahan juga cocok dijadikan sebagai tempat kumpul-kumpul. seperti yang dilakukan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia ketika melakukan kongres belum lama in Penginapan di tempat ini sanggup menampung hingga 50-an orang. Objek wisata ini dilengkapi pula dengan tempat pertemuan yang dibangun terbuka, persis di tebing sungai. Rindang pohon-pohon. semilir angin. dan gemericik air sungai akan membuat acara ngobrol santai ataupun diskusi serius tidak terasa melelahkan.
Satu hal lagi, Tangkahan belum terjamah oleh kabel telepon, sinyal ponsel, maupun kabel PLN. Kebutuhan listrik sehari-hari di tempat penginapan dipasok dan generator. Karena belum terjamah oleh telepon, Tangkahan bisa menjadi alasan baik bagi kita untuk sejenak melupakan rutinitas sehari-hari yang melelahkan. Dijamin, di sini Anda tidak bakalan bisa menerima telepon atau e-mail dari bos yang bawel dan menyebalkan!
Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
M.Solekhudin