Jangan salah, ini bukan Grand Canyon yang ada di Calorado, Amerika Serikat sana . Namun Green Canyon , nama alias untuk Cukang Taneuh (jembatan dari tanah). Daerah yang terletak di hulu Sungai Cijulang ini memiliki pesona alam yang lain dari kebanyakan hulu sebuah sungai: air terjun. dinding karang, dan kubah mirip gua lengkap dengan stalagmit dan stalagtitnya. Untuk ke sana cukup waktu sehari!
Dari Jakarta untuk sampai ke Green Canyon yang terletak di Desa Cijulang, Ciamis Selatan, Jawa Barat ini hanya dibutuhkan waktu delapan jam menggunakan angkutan umum. Namun, kalau ingin menikmati panorama Jawa Barat yang masih asri, harus berangkat pagi-pagi. Nasib saya dan seorang teman rupanya apes, sebab ketika sampai di Pangandaran, hari sudah malam. Terpaksa kami menginap di Pangandaran semalam dan esok paginya baru berangkat ke Cijulang.
Lokasi Green Canyon memang tak jauh dari Pangandaran, sekitar 30 km. Jadi, bisa dijadikan satu paket wisata Pangandaran, sebab infratsruktur di Pangandaran lebih tertata dibandingkan dengan Cijulang.
Kami tiba di Pangandaran pukul 21.00. Oleh seorang ibu pemilik warung tempat kami mengisi perut, kami disarankan untuk menginap dulu di Pangandaran. Tak banyak persoalan menginap di sana. Sepanjang pantai banyak hotel maupun wisma yang berjajar rapi siap menampung para wisatawan. Tarifnya beragam, mulai Rp.60.000,- hingga ratusan ribu rupiah semalam per kamarnya.
Berburu Sunrise
Mumpung menginap di Pangandaran, subuh-subuh sekitar pukul 05.00 kami sudah bangun dan menuju pantai sambil menenteng kamera. Apalagi kalau bukan sunrise yang kami buru. Bentuk semenanjung dan pantai Pangandaran membuat kita bisa menikmati Matahari terbit di sisi pantai timur dan tenggelam di sisi pantai barat. Berhubung jarak wisma ke pantai sisi timur lumayan jauh, kami menyewa sepeda yang tersedia di sepanjang pantai. Tarifnya Rp 3.000,- untuk sepeda jenis tunggal dan Rp 5.000,- untuk jenis tandem.
Pemandangan pantai timur cukup mempesona. Di sebelah kanan terlihat perbukitan yang memanjang, sementara di sisi kiri terdapat perkampungan nelayan dengan beraneka perahu tradisional. Di sisi kanan juga terdapat hutan
cagar alam Pananjung yang dipakai sebagai penyangga ekosistem sekaligus tujuan wisata. Seperti juga di pantai barat, sepanjang pantai timur juga sudah dipenuhi kios cinderamata, penginapan, dan toko kelontong. Setelah puas memotret Matahari terbit dan perahu nelayan yang bersandar tenang di pantai, kami menikmati bubur ayam khas Pangandaran.
Dalam perjalanan pulang, kami pun mencoba ngobrol seputar Cagar Alam Pananjung dengan Mamat, salah seorang pemilik perahu sewa. Sayang, niat kami hanya ke Green Canyon. Padahal dan foto-foto bawah laut yang dia perlihatkan, kami sangat tertarik. “Harga sewa perahu termasuk pemandu Rp 350 ribu. Kalian bisa memutari Cagar Alam Pananjung sekaligus menikmati panorama bawah laut di sekitamya,” ungkap Mamat sambil menambahkan, satu perahu bisa muat enam hingga tujuh orang dengan enam situs yang bisa dikunjungi di dalam cagar alam.
Dari Terminal Pangandaran kami menumpang sebuah mobil omprengan yang mangkal berjejer menunggu penumpang. Setelah sekitar 10 menit ngetem, akhirnya berangkat juga meski hanya kami penumpangnya. Tenyata omprengan itu mencari penumpang lagi di Pasar Pangandaran yang jaraknya tak sampai 200 m. Beruntung di sini banyak penumpang naik, terutama para ibu dengan aneka rupa belanjaan.
Perjalanan menuju Terminal Cijulang cukup mengasyikkan juga. Selain diisi dengan ramainya percakapan para ibu, panorama alam yang ditawarkan langsung mematri mata untuk terus memandang. Hijaunya pedesaan dengan pohon-pohon rindang di kiri-kanan jalan diselingi hamparan sawah dengan padi yang hampir menguning. Tak kurang menarik diperhatikan adalah rumah-rumah penduduk yang rata-rata tak kalah bagus dengan rumah di kota. Aspal hotmix membuat kami leluasa menikmati pemandangan itu semua.
Sekitar setengah jam perjalanan kami melihat sebuah papan besar penunjuk arah. “Batu Hiu”, Begitu tulisan yang terbaca. Menurut penuturan sang sopir, tempat itu adalah pantai dengan sebuah karang besar yang memiliki panorama cukup menarik. Konon karang tersebut akan berbentuk seperti sirip ikan hiu bila air laut pasang. Mobil omprengan kami tetap melaju perlahan menuju terminal Cijulang.
Tak lama kemudian, sebuah papan penunjuk kembali kami baca”Green Canyon 5 Km”. Kami pun menarik napas lega. Tak lama lagi kami tiba di tempat tujuan.
Tebing- tebing berakar
Begitu turun dari mobil omprengan tukang ojek sudah bisa membaca gerak-gerik kami. Ongkos Rp 5000,- pun kami sepakati untuk biaya antar dari terminal ke Dermaga Ciseureh yang berjarak 2 km. Kami rasa ongkos itu terlalu mahal. Namun tak apalah. Yang bisa cepat sampai, pikir kami. Nanti kami bisa menumpang kendaraan lain berupa angkutan pedesaan yang meskipun jarang melintas, cukup murah meria dengan ongkos cuma Rp 1.000,- per orang.
Begitu sampai di Dermaga Ciseureuh, rasa penasaran kami terbayar lunas. Di gerbang masuk ini kebersihan patut diacungi jempol. Kami pun tak diganggu oleh pedagang keliling yang biasa menjajakan cinderamata. Semua begitu tenang dan asri di bawah kerindangan pohon. Setelah membayar Rp 51.000,- untuk retribusi, sewa perahu, dan asuransi, kami pun dibimbing oleh seorang pemandu muda menaiki sebuah perahu motor bermesin tunggal. Sebelumnya, kami memotret lingkungan sekitar yang masih asri dengan perahu-perahu kecil berwarna-warni yang bersandar di dermaga.
Di sepanjang perjalanan dengan perahu yang bersuara menderu-deru mata kami dimanja dengan panorama hutan dengan deretan rumpun bambu dan pohon-pohon tropis yang lebat, persis kayak hutan Amazon yang biasa kami saksikan di televisi.
Pada daerah-daerah tertentu, pengemudi sengaja memperlambat laju perahu untuk memberi kami kesempatan mengabadikan panorama alam yang ditawarkan. Tak hanya panorama hutan tropis yang kami nikmati di kiri-kanan sungai dengan lebar kurang lebih 10 m itu. Dinding tanah setinggi puluhan meter dan air terjun mini bisa kami saksikan sepanjang sungai yang menurut penuturan Ujang, sang “kapten” perahu, berkedalaman sekitar 10 m.
Perlu waktu sekitar 40 menit untuk menempuh jarak menentang arus sepanjang 3 km itu agar bisa sampai di hulu sungai. Disinilah petualangan makin menjadi-jadi.Cukang Taneuh alias Green Canyon sudah di depan mata. Kamera pun kami jaga baik-baik karena kucuran air memerciki perahu kami dari dinding-dinding tebing yang ada di kiri-kanan sungai. Perahu pun harus berkelok perlahan menghindari batu besar yang ada di depannya. Tak sampai lima menit, sampailah kami di ujung sungai yang tak bisa dilalui perahu. Sebuah batu karang besar jadi batas akhir perjalanan perahu yang kami tumpangi.
Dengan cekatan, Ujang dan temannya menyandarkan perahu di bibir batu karang tersebut. Ternyata di sinilah letak Green Canyon yang sudah cukup dikenal itu. Tempatnya mirip gua dengan tebing setinggi kira-kira 50 m di sisi kiri dan kanan. Tebing-tebing ini ditempeli dengan akar-akar pohon yang menyembul dan setiap waktu mengucurkan rintik-rintik air.
Daerah ini juga dipayungi oleh sebuah kubah besar alami yang dipercantik dengan hadirnya stalagmit dan stalagtit di sana-sini. Warna cokelat kegelapan dipadu dengan hijaunya pepohonan rindang membuat kami betah berlama-lama sembari menikmati gemercik air yang menetes dan dinding-dinding tebing serta air sungai yang menabrak batu cadas yang terhampar di sekeliling kami.
Biayanya murah
Ternyata ada pemandangan yang lebih bagus lagi. “Di air terjun,” ujar salah satu pemandu kami. Sayangnya, untuk mencapai daerah itu hanya ada satu cara: berenang. Lebih celaka lagi, meski ada pelampung, kami tak berani berenang di arus yang tenang itu untuk sampai ke lokasi air terjun Palatar. Menurut informasi, beberapa pengunjung telah menjadi korban di daerah ini lantaran kelelahan saat berenang atau tak cukup punya persiapan untuk menantang arus sungai sepanjang sekitar 200 m itu.
Akan tetapi, seorang turis asing yang datang belakangan tak mau melewatkan begitu saja panorama air terjun Palatar. Sejak awal kedatangannya, turis kulit putih yang tampaknya sedikit mengerti bahasa Indonesia itu langsung saja menceburkan diri menghampiri air terjun. “Rugi kalau tidak sampai ke air terjun,” tukasnya kepada kami seraya mengenakan pelampung.
Rugi atau tidak bagi kami relatif. Setelah sekitar sejam menikmati pemandangan Green Canyon, kami pun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kami mengobrol dengan Ujang. Dari mulutnya kami baru tahu, “Awak perahu di sini harus memiliki surat izin kemudi layaknya SIM agar bisa melayani wisatawan yang datang.”
Pihak pengelola pun tampaknya tak mau ambil risiko. Setiap perahu maksimal hanya boleh ditumpangi lima orang plus dua awak perahu. Untuk masing-masing penumpang juga harus disediakan pelampung keselamatan. “Kalau melebihi kapasitas atau melanggar peraturan, pemilik perahu akan dikenai sanksi tak bleh mengambil penumpang di dermaga selama lima kali berturut-turut dan yang dijadwalkan,” tambahnya lagi.
Tak terasa hari mulai siang. Setelah memotret beberapa titik, kami pun bergegas pulang. Sayang, di Terminal Pangandaran bus langsung yang melayani jalur Pangan- daran - Bekasi hanya bisa didapat mulai petang hingga pukul 20.30. Tanpa perlu menunggu lama, kami memutuskan untuk naik bus jurusan Tasikmalaya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Dalam perjalan pulang itu kami mencoba iseng menghitung pengeluaran kami. Ternyata cukup murah! Masing-masing hanya mengeluarkan biaya Rp 180.000,-. Itu pun masih bisa ditekan lagi bila pergi berombongan sekitar 5 – 10 orang. Untuk panorama seindah Pangandaran dan Green Canyon, kami merasa sangat beruntung hanya mengeluarkan dana seminim itu. Lain waktu kami benjanji akan datang lagi.
BANYAK JALAN MENUJU GREEN CANYON
Bagi mereka yang tinggal di Jakarta dan ingin menggunakan angkutan umum, bisa menuju ke Terminal Bekasi atau Terminal Kampungrambutan. Anda tinggal memilih satu dan dua armada bus yang melayani trayek menuju Pangandaran. Silakan menikmati perjalanan selama sekitar delapan jam. Dari Terminal Pangandaran, gantilah dengan angkutan pedesaan. Waktu ternpuhnya kira-kira 45 menit. Kalau Anda sedang di Tasikmalaya, ada trayek Tasikrnalaya – Cijulang menggunakan minibus. Ongkosnya Rp 15.000,- dengan lama perjalanan kurang lebih dua setengah jam. Green Canyon bisa juga ditembus melalui Ciamis.
Pilih sesuai, yang Anda suka!
Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
Silvester Sila Wedjo