Pada rembang senja itu, Tampomas tampak membisu dan kesepian. Gumpalan kabut tipis yang menyelimuti sejak siang hari menjubahinya dengan anggun dan cantik.
Segala persiapan untuk pendakian telah kami persiapkan. Siang itu, Rabu, 31 Desember 2008, bus kota yang membawa kami, Badrun, Sadam, Sumin, Fuad, dan saya, tiba di Terminal Bus Cicaheum, Bandung.
Untuk menuju ke obyek wisata alam Curug Cadas Gantung dan situs purbakala Prabu Siiwangi, dan Terminal Bus Cicaheum, Bandung, bisa menggunakan bus umum jurusan Bandung-Buah Dua, turun di Desa Nanimbang, Kecamatan Congeang, Sume dang, dengan biaya Rp 12.000.
Dan jalan utama perjalanan lalu dilanjutkan dengan ojek sampai obyek di wisata Curug Cadas Gantung, sedangkan untuk mendaki puncak gunung Tampomas bisa lewat jalur Desa Nanimbang di Kecamatan Congeang;
Desa Cibeureum, Kecamatan Cimalaka, dan Desa Buah Dua.
Hari menjelang sore ketika kami sampal di Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Ini adalah titik awal pendakian kami menuju puncak gunung yang tingginya 1.684 meter dari muka laut itu.
Sejenak kami beristirahat di sebuah masjid di desa Cibeureum. Tampak terlihat hilir mudik suara truk pengangkut pasir Gunung Tampomas.
Kami tergoda mendaki kembali Gunung Tampomas karena keindahan alam dan hutan pegunungannya masih asri. Seperti biasa, kami lebih dulu mengisi jerigen air untuk persediaan menuju puncak karena sepanjang jalan menuju puncak lewat jalur pendakian Cibeureum akan sulit mendapat air. Situasi ini berbeda dengan jalur pendakian dan Desa Nanimbang.
Untuk menghemat tenaga kami menumpang truk pengangkut pasir yang menuju ke lokasi penggalian. Sepanjang perjalanan menanjak tampak bekas penggalian pasir menganga di kanan-kiri jalan.
Sampai di tempat penggalian, kami melanjutkan berjalan kaki menuju puncak Tetapi, baru beberapa ratus meter berjalan, hujan cukup besar turun sehingga memaksa kami berteduh di sebuah warung.
Kami bergegas melanjutkan perjalanan ketika hujan berhenti. Pohon pinus merupakan vegetasi awal yang harus kami lewati. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk yang baru pulang dari kebun, Mereka memanfaatkan bekas galian pasir untuk ditanami pohon naga dan pohon kaliandra.
Di hutan pinus terdengar suara-suara binatang penghuni Tampomas yang suaranya berharmonisasi dengan alam. Udara segar dan bau aroma dedaunan pinus tajam menusuk hidung, apalagi hutan baru diguyur hujan.
Setelah sekitar tiga jam, kami beristirahat sejenak sambil menikmati rimbunnya hutan Tampomas. Vegetasi kawasan in termasuk tipe hutan hujan pegunungan dan ditumbuhi, antara lain, pohon rasamala, saninten, jamuju, dan beragam jenis epifit dan liana.
Tujuan kami adalah pos pendakian Batu Lawang. Medan pendakian yang terus menanjak cukup merepotkan laju perjalanan pendakian kami, apalagi banyak semak belukar subur tumbuh di sepanjang jalan yang kami lewati. Sesekali kami harus berpegangan pada akar dan batu untuk menambah laju pendakian perjalanan kami.
Di Batu Lawang kami beristirahat sambil minum dan masak Semilir angin di lembah Gunung Tampomas terasa menyegarkan. Kami terpesona oleh panorama alam yang masih terjaga keasliannya, baik hutan maupun keaneka ragaman hewannya. Ada rasa damai, tenteram, dan bahagia, seolah lupa rasa lelah. Sesekali muncul rasa getir ketika ingat pada perusak hutan tidak bertanggung jawab.
Tanjakan Taraje
Untuk mencapai puncak, terlebih dahulu kami harus melewati Tanjakan Tanaje. Kami tinggalkan Batu Lawang, julukan pada batu berukuran besar itu karena batu ini konon merupakan pintu masuk menuju puncak Tampomas. Persis bagian tengah batu bentuknya seperti pintu masuk sehingga dinamakan Batu Lawang.
Perjalanan kami pada malam yang hening itu ditemani temaram cahaya bulan purnama. Ketika puncak Tampomas semakin mendekat, kami memacu langkah merayapi batu dan berpegangan pada akar, terutama ketika melewati Tanjakan Taraje yang memiliki kemiringan 75 derajat. Sangiang Taraje atau Tanjakan Taraje nii tenletak di ketinggian 1684 m di atas permukaan laut.
Di sana kami melewati lubang-lubang bekas kawah Gunung Tampomas dan batu-batu besar. Akhirnya setelah berjalan enam jam kami sampai di puncak Tampoinas dan segera mendirikan tenda untuk istirahat Seraya mengumpulkan tenaga Untuk perjalanan turun esok harinya, melalui jalur berbeda, yaitu melewati Desa Narimbang, Kecamatan Congeang, Kabupaten Sumedang, karena kanii ingin menikmati keindahan Curug Cadas Ganturig di jalur tersebut.
Jutaan bintang menari di langit menemani kami dan beberapa pendaki lain. Tampak kerlip cahaya lampu kota Sumedang dan sekitamya dan puncak
Walau gunungnya tidak terlalu tinggi, tetapi Tampomas mampu menghadirkan perasaan kecil di antara kemegahan alam ciptaan-Nya
Jam di tangan menunjukkan pukul 24.00 WIB. Kami saling berjabat menyambut datangnya pergantian tahun ini. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB dan kami bergegas untuk tidur.
Petilasan
Semilir angin pagi membangunkan kami. Setelah selesai sarapan kami membereskan tendi untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke lokasi petilasan Prabu Siliwangi dari kerajaan. Siliwangi yang letaknya beberapa ratus meter turun dan puncak Tampomas.
Tempat itu lebih dikenal dengan nama Pasarean. Di sana tampak batu-batu petilasan ditutupi kain putih oleh peziarah.Di puncak Tampomas ini terlihat dua makam yang konon merupakan petilasan Dillem Samaj dan Prabu Siliwangi.
Situs purbakala bersejarah di Gunung Tampomas dilindungi sebagal cagar budaya dan tempat ini sering dikunjungi para peziarah untuk ngalap berkah.
Kami kembali naik ke puncak lagi untuk menikmati mentari yang mulai menggeliat dan ufuk timur. Keindahannya sulit diungkap dengan kata-kata.
Pukul 07.00 kami mula! perjalanan turun menuju Nanimbang. Kaki terasa lepas melangkah dari puncak Tampomas, tetapi perjalanan turun tetap dituntut ekstra hati-hati.
Kami melewati Tanjakan Taraje, Batu Lawang, Batu Kukus, dan akhirnya tiba di Curug Cadas Gantung setelah berjalan sekitar lima jam.
Segala rasa lelah terbayar ketika kami menikmati jernihmya air dan derasnya gemercik air yang jatuh dan puncak Nanimbang.
Sejuta kenangan telah tercipta, pesona Gunung Tampomas dengan keindahan alam serta peninggalan purbakala Prabu Siliwangi kian tersibak keindahannya dan patut dilestarikan.
Sumber : Harian Kompas
Foto : Harian Kompas
Imam Saefudin