Berkunjung ke Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, belum
lengkap jika anda belum menelusuri lereng Gunung Argopuro. Di sini tersebar
peninggalan sejarah Majapahit pada abad ke-14 termasuk diantaranya Candi
Kedaton, pusat pertapaan penganut Hindu sekte Syiwa. Punden berundak turut
melengkapi pesona alam sekitar.
Embusan angin dingin mengiringi perjalanan kami
pada suatu sore awal Maret lalu. Jalan aspal kampong selebar 2-3 meter menjadi
titian di antara jurang terjal yang mengapit di kanan-kiri jalan Gunung
Argopuro.
Beberapa kali kami harus menahan napas. Detik-detik
mendebarkan terjadi setiap berpapasan dengan truk-truk besar pengangkut batang-batang
sengon dan sapi perah.
Pohon durian, manggis, dan sengon menemani hampir
sepanjang perjalanan naik turun dan berkelok di Kecamatan Tiris, Kabupaten
Probolinggo, salah satu wilayah di lereng barat laut Gunung Argopuro.
Di tepi Jalan Raya Kedaton, desa Andungsari,
Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, kami harus melanjutkan perjalan dengan
berjalan kaki sejauh 1 kilometer.
Meniti jalan setapak menembus rumpun tanaman kopi
sambil mendengarkan gemericik air sungai, membuat hati yang semula
berdebar-debar menjadi damai.
Di ujung jalan tampak sebuah candi yang sudah tidak
lagi utuh. Tubuh dan pemuncaknya tak terlihat. Tersisa kaki dan batur (alas)
candi. Candi di Kedaton ini diketahui berasal dari masa akhir Majapahit abad
ke-14.
Meski begitu, keelokan candi yang disebut Candi
Kedaton itu tidak turut hilang. Hampir ditiga sisinya terdapat cerita relief
yang menyimpan misteri masa lalu, yaitu kisah Arjunawiwaha di sisi Barat, kisah
Garudeya di sisi Selatan, dan kisah Bhomantaka di sisi timur. Semua kisah
tersebut terkait dengan kehidupan pertapaan atau karesian.
“Keberadaan candi ini menjadi salah satu penanda
penting kawasan di Lereng Argopuro ini. Daerah sini dahulu bisa dibilang
merupakan kawasan pertapaan atau karesian dan bisa jadi juga merupakan suatu
kawasan otonom kecil yang keberadaannya diperhitungkan oleh penguasa Majapahit.”
Tutur sejarawan dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono.
Pada zamannya, daerah tersebut diduga menjadi pusat
aktivitas masyarakat Hindu, khususnya sekte Syiwa. Perkembangan agama Hindu
sekte Syiwa ditunjukkan pada relief batur candi Kedaton sebelah kiri, yang
menggambarkan kisah Arjunawiwaha. Di mana seseorang pertapa telanjang bertemu
dengan Arjuna. Ini dipercaya merupakan salah satu budaya ekstrem Hindu Syiwa
kala itu, di mana untuk bertemu dewata harus melakukan tindakan ekstrem seperti
telanjang atau menyerahkan bagian tubuhnya untuk persembahan bagi dewa.
Di seberang Candi Kedaton, melewati Sungai Tekong
(berjarak lebih kurang 1 kilometer), pernah ditemukan arca Bima dengan
ketinggian lebih dari dua meter. Kini arca tersebut disimpan di Museum Trowulan
Mojokerto.
Menurut Dwi Cahyono, lingga besar
seperti itu biasanya berada di pusat kota atau pemerintahan. Lingga merupakan
sumber kekuatan magis suatu kerajaan.
“Diduga dahulu kawasan Tiris dan
sekitarnya merupakan pusat peradaban Probolinggo kala itu. Bukan saja karena
adanya Candi Kedaton dan arca Bima besar, melainkan di daerah sepanjang lereng
Argopuro ini banyak ditemukan punden berundak sebagai salah satu peninggalan
zaman megalitik, “ ujarnya.
Bahkan menurut Dwi, ramainya
peninggalan sejarah di kawasan Tiris dan sekitarnya – Candi Kedaton, temuan
arca Bima, punden berundak di Lereng Argopuro – dimungkinkan menjadi latar
belakang penamaan Probolinggo. Nama Probolinggo diduga berasal dari kata prabha
(sinar) dan lingga (dewa, dalam hal ini Syiwa). Orang setempat mengartikan
Probolinggo sebagai tempat yang bersinar.
Turun dari wilayah pengunungan
dengan ketinggian 600 meter di atas permukaan laut (mdpl), melewati jalan
berkelok kea rah utara lebih kurang 22 kilometer, sampailah kita di wilayah
pesisir pantai utara Jawa, tepatnya di daerah pajarakan.
Pajarakan pernah menjadi kota
penting pada masa Majapahit. Dalam Pararaton dan Kidung Sorandaka, wilayah ini
disebut menjadi benteng Mpu Nambi (Patih Amangkubhumi pertama Majapahit era
Jayanegara). Benteng ini pula yang pada tahun 1316 Masehi dihancurleburkan oleh
Majapahit karena Nambi dinilai memberontak terhadap Majapahit. Sayangnya sisa
benteng Pajarakan ini hingga kini belum ditemukan.
Ke timur lebih kurang 5
kilometer, terdapat Candi Jabung. Candi ini juga merupakan salah satu penanda
penting era Majapahit. Candi yang terletak di Desa Jabungcandi, Kecamatan
Paiton, Kabupaten Probolinggo ini menjadi salah satu Hayam Wuruk saat ia
menempuh perjalanan ke wilayah timur pada tahun 1359 Masehi.
Singgahnya Hayam Wuruk oleh
sebagian orang juga dianggap menjadi dasar penamaan Probolinggo, yaitu berasal
dari kata prabu (raja) dan linggih (duduk atau berada).
Candi Jabung dibuat dari bata
merah. Ukuran panjang candi 13,11 meter dan lebar 9,58 meter serta tinggi 15,58
meter. Candi berdiri pada lahan 35 x 40 meter dan setelah pemugaran lahan yang
diperluas menjadi 20.042 meter persegi.
Candi ini dalam Kitab
Negarakertagama pupuh XXXI menjadi salah satu persinggahan Raja Hayam Wuruk
saat melakukan perjalanan ke timur. Rute Pajarakan – Jabung – Bremi – Tiris sampai
Lumajang merupakan rute utama zaman
klasik di wilayah yang kini disebut Probolinggo.
Era kolonial Belanda
Perkembangan zaman terus terjadi.
Pada era colonial Belanda, Tiris – Pajarakan – Jabung tak lagi menjadi pusat
peradaban. Pemerintah kolonial, demi kepentingan ekonomi, akhirnya menjadikan
wilayah barat, tepat di sekitar garis pantai, menjadi pusat pemerintahan.
Wilayah ini sekarang berkembang menjadi kota Probolinggo.
Pelabuhan Tanjung Tembaga
Probolinggo menjadi pintu masuk dan keluar berbagai produk hasil bumi yang akan
dibawa ke Belanda. Pelabuhan ini menjadi sentra akhir terkumpulnya barang dari
sejumlah daerah hinterland seperti Lumajang dan Jember.
Keberadaan Pelabuhan Tanjung
Tembaga Probolinggo bahkan dipercaya jauh lebih awal bila dibandingkan dengan
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Seiring dengan arti penting
pelabuhan, pemerintah colonial Belanda mulai mengembangkan kawasan tersebut
menjadi pusat kota. Dibangunlah beragam gedung. Termasuk gedung-gedung sekolah.
Era colonial, Probolinggo dikenal sebagai Kota Perguruan. Ada beberapa sekolah
dibangun masa itu, seperti Kwekschool (Sekolah guru) yang dibangun pada tahun
1875, OSVIA (Sekolah calon pamong praja), Normaalschool (Sekolah guru bantu),
MULO ( Sekolah menengah pertama untuk orang berada), dan sejumlah sekolah Kristen.
“Di Probolinggo juga dibangun
sejumlah industry, seperti Pabrik Kertas Letjes pada tahun 1939 dan pabrik shellac
(bahan pelitur kayu),” ujar Ade Sidik Permana, Koordinator Museum Kota
Probolinggo.
Masih demi kepentingan ekonomi,
dibangun pula pabrik trem di sini. Trem difungsikan untuk angkutan orang dan
barang kala itu. Probolinggo terus bersolek memancarkan prabha (sinar)-nya dari
Lereng Argopuro.
Oleh : Dahlia Irawati
Kompas, 3 April 2012