Ada
dua pengalaman tak terlupakan saat mengunjungi Gunung Kerinci di Jambi, yaitu
mendaki Danau Gunung Tujuh dan
menelusuri Air Terjn Pendung. Dua perjalanan itu mengantar saya memasuki alam
surealis yang menghanyutkan.
Danau Gunung Tujuh berada di atas ketinggian 1.950
meter di atas permukaan laut (dpl), tercatat sebagai danau vulkanik tertinggi
di Asia Tenggara. Berada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), danau
itu di capai dengan mendaki dari Pos Resort Gunung Tujuh, Desa Pesisir Bukit,
Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci. Pos itu sendiri berjarak sekitar
50-an kilometer (km) dari Sungai Penuh, pusat kota di Kabupaten Kerinci.
Saya dan beberapa kawan mulai mendaki dari Pos
Gunung Tujuh sekitar pukul 10.00 awal Mei 2010 lalu, dengan ditemani Giyono
(37), pengawas hutan dari TNKS. Hingga satu sampai dua kilometer awal jalan
masih landai. Hutan di kiri-kanan jalan banyak dirambah menjadi kebun liar.
Makin ke atas perjalanan makin sulit. Apalagi, kami
memang memilih jalur menanjak yang lebih dekat ke danau, dengan kemiringan mencapai
sekitar 50 sampai dengan 70 derajat. Jalan setapak tanah liat itu juga licin.
Kami mesti menyelipkan kaki di celah-delah akar
pohon sambil berpegangan pada batang-batang melintang. Tak lama napas langsung
ngos-ngosan dan lutut pegal. Kami pun kerap berhenti untuk istirahat.
Meski lelah kami menikmati segala hal di hutan yang
alami itu. Pohon-pohon besar dan tinggi sekitar 20an meter –berdiri gagah.
Giyono menyebutkan jenis-jenis pohon itu, seperti pauh, medang , delam, atau
embun. Ada juga
bermacam anggrek dengan bunga aneh.
Suasana bertambah syahdu ketika terdengar berbagai
kicauan burung. Ada
burung punai, enggang, karau, abang pipit, murai batu, atau jalak. Kadang,
burung itu berkelebat di depan mata. Sesekali terdengar gemericik sungai yang
mengalir di bawah.
DANAU
Setelah tiga jam perjalanan, sekitar pukul 13.00,
akhirnya kami tiba di Danau Gunung Tujuh. Hati serasa meleleh saat disuguhi
pemandangan menggoda. Perjuangan mendaki tadi langsung seperti terbayar sudah.
Sebuah danau, seluas sekitar 4,5 km x 3 km, terhampar di tengah
apitan tujuh puncak gunung. Air danau itu begitu bening. Bebatuan dan akar kayu
di dasar danau seperti dalam kaca akuarium. Lalu angin berembus, udara pun
segar.
Dari pucuk-pucuk gunung itu muncul kabut bak
gumpalan kapas putih, yang kemudian perlahan turun dan mendarat di atas
permukaan danau. Danau itu menyatukan dunia bawah dan dunia atas. Sungguh,
lanskap itu mirip lukisan surealis yang menyeruak dari alam mimpi.
Lalu, mimpi itu dipecah oleh sesosok kecil nelayan
yang berperahu sampan. Dengan dayung dia melaju pelan dari tengah danau ke
tepian. Sabran (32), begitu namanya, menghampiri kami seraya menyodorkan ikan
kecil-kecil yang kering kegosongan.
“Ini ikan perih, asli dari danau. Sudah diasapi,
jadi siap dimakan, “katanya.
Kami membeli sedikit ikan itu. Sambil duduk di atas
batu-batuan besar, kami menyantapnya bersama nasi atau roti perbelakalan.
Sementara mulut kami mengunyah ikan yang gurih-renyah, mata kami melahap
kemolekan alam itu.
“Danau itu masih asri. Mungkin karena akses ke sini
sulit , jadi hanya para pencinta alam yang mau bersusah payah berkunjung, “
kata Giyono.
Sayang, kenikmatan itu berangsur surut. Saat hari
semakin sore, gerimis mulai merintis. Gunung-gunung danau itu tersamar oleh
mendung. Kami memutuskan pulang.
PENDUNG
Esok harinya kami secara sengaja mengunjungi Air
Terjun Pendung di Desa Semurup, Kecamatan Air Hangat, Kerinci. Lokasinya berada
di sebelah kiri jalan raya di pertengahan antara Kota Sungai Penuh ke kebun teh
di Kayu Aro. Ini termasuk obyek yang belum popular sehingga jarang dirambah
wisatawan.
Untuk menuju ke air terjun itu, pengunjung harus
menyusuri kebun, hutan, dan menyeberangi sejumlah sungai. Beruntung, kami
diantar rombongan beberapa siswa yang tengah berlibur.
Diantara lintasan sungai-sungai, kami menelusuri jalan setapak tanah liat yang
berlumpur, menyelinap di balik pepohonan, atau menyibak rerimbunan semak
belukar. Kadang, kami harus melepas sandal atau sepatu agar lebih mudah
berjalan.
Jalur itu masih
sulit dilalui karena hanya sesekali digunakan. “Pengunjungnya
orang-orang di sekitar sini saja, “ kata Ziki (13), salah satu anak pengantar
kami.
Sekitar satu jam perjalanan, pada ujung Sungai
Pendung, kami dikejutkan oleh pemandangan tak terduga. Sebuah Ngarai atau
lereng menjulang tinggi di atas sungai. Dari atas ngarai muncul air bertumpahan
dalam butiran besar dan kecil.
Air terjun itu diapit dinding batu yang berlekak-lekuk
dan dipenuhi lumut, semak, atau suplir. Secercah sinar matahari dari atas
ngarai itu menerobis masuk ke dalam jurang hingga menembus air sungai yang bening. Paduan antara ngarai,
air terjun, sungai, dan teroosan sinar matahari tadi menciptakan suasana dramatis.
Tiba-tiba turun hujan . “Kalau hujan begini, kita
harus cepat kembali karena sungai bias tiba-tiba pasang”, kata Refo (12), salah
satu rombongan anak. Kami pun terpaksa bergerak pulang.
Kawasan Kerinci yang berada di perbatasan atara
Jambi dan Sumatera Bara, memang menawarkan banyak pesona alam. Danau Gunung
Tujuh dan Air Terjun Pendung termasuk
yang menanamkan kesan mendalam. Meski sudah kembali ke Jakarta, pengalaman mengunjungi dua tempat
itu kami simpan sebagai mimpi indah yang enggan kami lepaskan.
Ilham Khori
Kompas 25 Juli 2010