Pantai Pasir Putih di Kepulauan Spermonde


English Version (click here)

Mau menyelam menikmati terumbu karang? Memandangi detik-detik tenggelamnya sang surya? Atau sekadar mandi di laut dengan pantai pasir putih yang indah? Datanglah ke Kepulauan Spermonde di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Keindahan pantai di beberapa pulau di kepulauan ini menjadi daya tarik utama wisatawan lokal dan asing.

Kepulauan Spermonde terletak di bagian barat Sulawesi Selatan, membentang dari Kabupaten Pangkajene Kepulauan arah utara hingga Kabupaten Selayar di selatan. Ada sekitar 120 gugusan pulau di Kepulauan Spermonde dan 12 di antaranya termasuk dalam wilayah administratif Kota Makassar. Beberapa pulau, seperti Pulau Samalona, Kodingareng Keke, Barrang Caddi, dan Barrang Lompo, menjadi tujuan utama wisatawan lokal dan asing.

Untuk menuju pulau-pulau tersebut, tersedia sejumlah perahu ketinting dengan mesin tempel berkekuatan 40 PK di Dermaga Kayu Bangkoa. Dermaga ini terletak tepat di depan Benteng Rotterdam, yang bisa dicapai 15 menit dari pusat Kota Makassar. Ongkos sewa perahu bervariasi, Rp 500.000 hingga Rp 600.000, dengan muatan hingga 10 orang per perahu.

Perjalanan dari Dermaga Kayu Bangkoang ke Pulau Samalona hanya memerlukan waktu 40 menit. Di pulau yang luasnya 2,3 hektar ini dihuni sekitar 82 jiwa atau 20 keluarga. Setiap rumah warga bisa disewa untuk menginap dengan tarif Rp 150.000-Rp 250.000 per malam.

”Di sini masih ada terumbu karang dan ikan aneka warga yang sangat indah. Cocok bagi wisatawan yang memiliki hobi menyelam. Kalaupun hanya sekadar mandi di laut sudah cukup nyaman,” kata David (35), salah satu wisatawan asal Jakarta, yang menginap di Samalona.

Hanya sekitar 20 menit dari Samalona masih ada lagi pulau kecil nan cantik bernama Pulau Kodingareng Keke yang luasnya hanya 1 hektar. Sayang, keindahan dan kenyamanan pulau ini tinggal cerita.

Padahal, pada awal tahun 2000 pulau ini menjadi salah satu tujuan utama wisatawan asing dan lokal karena pesona pasir putih dan terumbu karangnya. Sempat ada lima bangunan penginapan di pulau yang dikelola seseorang berkewarganegaraan Belanda, tetapi kini hanya tersisa hamparan tanah berpasir dan beberapa pepohonan di atas pulau. Sekitar dua tahun lalu pengelola

Pulau Kodingareng Keke berurusan dengan pihak berwajib karena mengibarkan bendera negaranya di pulau itu. ”Sejak saat itu, Pulau Kodingareng Keke tidak terurus,” ujar Siti Zubaidah, Lurah Barrang Caddi, Kecamatan Ujung Tanah, yang membawahi wilayah Pulau Kodingareng Keke.

Dua pulau lain

Selain Samalona dan Kodingareng Keke, masih ada lagi dua pulau yang letaknya berdekatan, yakni Pulau Barrang Caddi dan Barrang Lompo. Pulau Barrang Caddi seluas 4 hektar, dihuni sekitar 1.300 jiwa, dan Pulau Barrang Lompo luasnya 19 hektar, dihuni sekitar 4.000 jiwa.

Perjalanan dari Pulau Barrang Caddi ke Pulau Barrang Lompo hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan perahu. Di kedua pulau ini wisatawan bisa memancing, menyelam, dan wisata budaya. Berbagai jenis ikan, terutama jenis tenggiri, banyak didapat dengan relatif mudah di laut sekitar pulau ini. Di sekitar Pulau Barrang Lompo juga masih ada beberapa titik yang menyisakan terumbu karang nan indah.

Dibandingkan dengan ke Pulau Samalona, transportasi ke Pulau Barrang Lompo dan Barrang Caddi relatif lebih murah dan mudah. Setiap hari, ada pelayaran reguler yang menghubungkan kedua pulau itu dengan Kota Makassar, yakni kapal penumpang dengan kapasitas 30 orang. Ongkos pergi pulang hanya Rp 15.000 per orang. Untuk penginapan, bisa menyewa rumah warga yang mayoritas berbentuk panggung.

Upacara adat

Selain memancing dan menyelam, pengunjung juga bisa melihat keahlian warga setempat dalam membuat perahu tradisional. Jika beruntung, wisatawan dapat menyaksikan upacara adat pa’rappo, yaitu upacara adat saat menurunkan perahu yang selesai dibuat sebelum dipakai melaut. Sekitar 95 persen dari semua penduduk di kedua pulau itu bekerja sebagai nelayan.

Jika ingin membawa cendera mata dari kerajinan berbahan laut, seperti kerang, mutiara, dan binatang laut yang diawetkan, tersedia di toko milik Mohammad Saleh yang dikelola Siti Fatimah, putri dari Mohammad Saleh. Harga kerajinan dijual mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 500.000 per buah.

Meskipun memiliki banyak pulau kecil yang memesona, potensi wisata bahari di kepulauan tersebut belum dikelola maksimal oleh Pemerintah Kota Makassar. Untuk mempromosikan potensi pariwisata di kepulauan tersebut, perlu dukungan sarana transportasi murah dengan jadwal pelayaran reguler dan kegiatan festival budaya yang digelar rutin. Upaya menjaga kelestarian terumbu karang yang menjadi nilai jual wisata bahari juga harus berlanjut.

Tanpa upaya yang serius, lambat laun orang bisa lupa jika Kota Makassar memiliki gugusan pulau-pulau kecil yang menawan dengan berbagai keindahan laut.


sumber : Aries Prasetyo, Kompas 01 Mei 2012

Read more »

Bertualang Ke Teluk Jakarta




Bosan berlibur di daratan? Jika iya, Anda patut menjajal sensasi petualangan bahari di sekitar Ibu Kota. Anda dapat melewatkan liburan akhir pekan ke Pulau Pramuka dan Pulau Sepa, Kabupaten

Kepulauan Seribu. Kedua pulau itu menawarkan petualangan yang berbeda.

Di Pulau Pramuka, Anda dapat melihat kehidupan masyarakat kepulauan. Pulau itu menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Seribu. Di Pulau Sepa, Anda dapat menikmati keindahan pantai pasir putih lengkap dengan taman bawah laut.

Untuk bertualang di kedua pulau itu, hanya perlu sehari. Pulau Pramuka berada di 37 mil dari Jakarta, sedangkan Pulau Sepa 54 mil dari Jakarta.

Kompas menikmati perjalanan mengesankan itu dari Dermaga 06, Marina, Jakarta Utara, Sabtu (24/4) pukul 07.30. Lepas dari Dermaga Marina, gulungan ombak kecil mengayun-ayun kapal cepat yang membawa rombongan media, pelancong, dan PT Tender Indonesia sebagai penyelenggara acara.

Melancong ke Pulau Pramuka dan Pulau Sepa berarti perpacu dengan waktu. Jika terlalu siang berangkat dari Jakarta, lebih baik Anda bermalam di salah satu pulau itu. Jika berangkat pagi, Anda dapat kembali ke Jakarta menjelang petang atau malam. Bahkan, banyak orang menyarankan menghindari perjalanan ke Kepulauan Seribu pada bulan-bulan berakhiran ber, ber, ber (September-Desember). Ombak laut terlalu besar, hanya orang pulau yang mampu menaklukkan.

Dari Dermaga Marina, hanya perlu satu jam menuju Pulau Pramuka. Begitu sampai, beristirahat sejenak. Kemudian berkunjung ke tempat penangkaran penyu sisik (Eretmochelys imbricata), bakau (Rhizophora sirosa), dan pohon butun atau pohon perdamaian (Barringtonia asiatica).

Anda juga dapat melepaskan tukik ke lautan. ”Penyu ini hanya boleh dilepas, tidak boleh dibawa pulang,” kata Salim (62), Ketua Forum Masyarakat Peduli Lingkungan.

Menjelang siang, Anda dapat mengisi perut dahulu dengan menu khas laut di Rumah Makan Nusa Keramba. Rumah makan itu seperti mengambang, berdiri di atas pulau kecil yang bernama Pulau Gosong, lima menit dari Pulau Pramuka.

Agar petualangan lebih berkesan, singgahlah di Pulau Sepa. Pulau tanpa penghuni itu khusus menjadi obyek wisata. Salah satu pelaku usaha pariwisata asal Jakarta mengelola pulau ini sejak tahun 1980. Di sekitar pulau ini, tersaji keindahan bawah laut aneka taman karang.

Bagi Anda yang tak pernah menyelam di permukaan air laut (snorkeling), PT Tender Indonesia, salah satu pengelola paket wisata ke lokasi ini, menyediakan pemandu terlatih. Si pemandu hafal lokasi taman bawah laut di Pulau Sepa.

Namun, hati-hati jangan bergesekan dengan batu karang yang tajam dan hewan laut bulu babi atau landak laut (Echinoidea). Keduanya bakal melukai kulit Anda.

Akses ke lokasi

Untuk mencapai kedua pulau tersebut, bisa melalui sejumlah tempat di antaranya dari Tanjung Kait dan Pasir Tanjung (Tangerang) serta Muara Angke dan Marina (Jakarta Utara). Anda bisa memilih lokasi pemberangkatan sesuai kenyamanan, keamanan, dan kemampuan dana.

Bagi Anda yang memiliki dana cukup, Anda dapat mengikuti paket wisata melalui PT Tender Indonesia bernama ”Backyard Adventure”. PT Tender Indonesia menyediakan kapal cepat Predator dengan kekuatan mesin 600 PK (tenaga kuda).

Peserta paket membayar Rp 800.000 per orang lengkap dengan sarana makan berat dan makan ringan. Peserta juga tidak perlu repot menyewa peralatan snorkeling, semuanya tinggal memakai.

”Kedua pulau itu paling siap sebagai tempat wisata di wilayah Kepulauan Seribu,” kata Tito Loho, Managing Director PT Tender Indonesia.

Bagi Anda yang memiliki dana berlibur cekak, Anda dapat memanfaatkan kapal kayu yang berangkat dari Muara Angke, Jakarta Utara. Dari dermaga itu, Anda hanya perlu mengeluarkan Rp 35.000 per orang sekali angkut ke Pulau Pramuka.

Sementara dari Pulau Pramuka, Anda dapat menyewa seharian penuh kapal nelayan Rp 500.000 dengan kapasitas 20 orang menuju Pulau Sepa.

Pulau Pramuka dan Sepa hanyalah sebagian dari 54 pulau yang diarahkan menjadi resor wisata oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu.

Arif Junus (38), konsultan keuangan di Jakarta, sering melewatkan akhir pekan di Kepulauan Seribu. ”Sayang, pengembangan wisata belum maksimal. Padahal ada potensi yang sangat besar. Alamnya indah,” kata Junus.


Oleh Andy Riza Hidayat
Kompas 01 Mei 2010

Read more »

WADUK DARMA TETAP MENGGELIAT

Perairan tenang dan perahu kayu yang lamban membuat penumpang sedikit melamun saat mengarungi Waduk Darma, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Minggu (6/5/2012) pagi. Jajaran bukit yang mengelilingi waduk menimbulkan perasaan kecil di dalam sanubari. Mungil dan rapuh, ibarat dadu terapung di dalam sebuah mangkuk yang besar.

Sementara itu, di buritan, tampak muda-mudi asyik bercengkerama mencari kehangatan. Uus (28), tukang perahu yang menjalankan perahu wisata, rupanya sengaja melambatkan perahu. Bagi wisatawan muda-mudi, suasana sedikit muram itu justru membuat mereka ingin berlama-lama di tengah waduk.

Berada sekitar 12 kilometer (km) di barat daya pusat kota, Waduk Darma menawarkan bentang alam yang segar, jauh dari hiruk pikuk kemacetan dan sengatan tajamnya Matahari wilayah pantai utara (pantura).

Lokasi waduk yang berada di bawah kaki Gunung Ciremai, sekitar 715 meter di atas permukaan laut, memungkinkan kawasan ini berhawa lebih sejuk daripada pusat Kota Kuningan dan sentra pantura Jabar di Kota Cirebon. Temperaturnya berkisar 18-30 derajat celsius.

Untuk mencapai Waduk Darma dari Cirebon yang berjarak 47 km diperlukan waktu paling lama 75 menit. Harga tiket masuk hanya Rp 6.000.

Menurut catatan Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Kabupaten Kuningan selaku pengelola danau buatan ini, Waduk Darma rata-rata dikunjungi 10.000 orang per bulan pada tahun ini. Itu bisa dilihat dari pendapatan tiket masuk yang rata-rata Rp 50 juta per bulan. Capaian ini ternyata naik jika dibandingkan tahun 2011 yang Rp 25 juta per bulan.

Agaknya Waduk Darma menjadi semacam oase bagi warga pantura Jabar yang sehari-harinya berjibaku dengan panasnya cuaca pesisir dan bentang alam horizontal yang keras atau ”itu-itu” saja. Danau buatan seluas 425 hektar (ha) ini menjadi tempat pelarian favorit mereka. Namun, banyak juga wisatawan datang dari Jakarta, Bandung, dan luar daerah, seperti Tegal dan Brebes di Jawa Tengah.

Bagi pelancong yang sudah sampai di lokasi, berkeliling waduk dengan menumpang perahu hampir pasti menjadi tujuan pertama. Dengan Rp 10.000 per orang, mereka bisa menikmati pemandangan bukit yang hijau segar nun jauh di sana, serta berkecipak air dari atas perahu yang malu-malu melaju.

Pelancong bisa menikmati jajanan dari warung-warung rakyat di sana. Duduk-duduk di tepian waduk sambil menyeruput kopi dan mata menatap jauh ke tengah. Ah... rasanya sudah hampir seperti semedi sederhana.

Lambat dikembangkan
Ketenangan dan kekosongan semacam itu rupanya telah bertransformasi menjadi kegelisahan industri wisata. Itu yang dirasakan Enci (37), pemilik salah satu warung di sana. Ia sebaliknya menginginkan Waduk Darma agar lebih ramai. ”Di sini pasti lebih ramai kalau ada tontonan rutin, seperti panggung musik, kesenian, atau bazar,” katanya yang tinggal di Desa Jagara, Kecamatan Darma.

Lebih banyak pengunjung artinya lebih banyak pembeli. Uus, si tukang perahu, juga berharap yang sama. Saat ramai, Uus dan dua rekan lainnya bisa meraup sampai Rp 500.000 per hari. Di hari-hari biasa pendapatan itu bisa anjlok sampai Rp 100.000 per hari. ”Kadang-kadang malah tak ada penumpang sama sekali,” ujarnya.

Waduk Darma sejak diresmikan tahun 1961 memang dibangun di atas urat nadi ribuan warga yang ketika itu merelakan ratusan hektar sawahnya untuk proyek tersebut. Kini, Waduk Darma ganti membayar derma dengan menjadi gantungan hidup ratusan warga Kecamatan Darma.

Menurut spesifikasinya, waduk ini digunakan untuk mengairi 22.060 hektar sawah di pantura. Debit air yang ditampungnya sampai 42 juta meter kubik. Namun, akibat sedimentasi yang parah kini hanya mampu menampung 39,5 juta kubik.

Direktur Utama PDAU Kabupaten Kuningan Rafian Joni mengakui Waduk Darma tergolong lambat. Sekalipun potensinya besar dengan bentang alam yang menarik dan didukung cuaca yang sejuk, kawasan wisata ini bisa dibilang masih dikelola ”seadanya”.

Persis seperti diungkapkan Enci, panggung wisata Waduk Darma memang sepi-sepi saja. Kondisi itu membuat pilihan wisata di Waduk Darma menjadi terbatas. ”Saya paling suka berkeliling naik perahu saja di waduk. Bisa berhenti dulu membeli ikan di jaring apung di tengah waduk dan lihat-lihat pemandangan. Kalau anak-anak sih main-main aja di taman,” kata Sri Ayu Ningsih (31), ibu dua anak yang Minggu itu mengajak adik dan anak perempuannya berwisata ke Darma.

Berusaha bangkit
Untuk membangkitkan kembali gairah wisata di Waduk Darma perlu biaya besar. Pemkab Kuningan tahun ini menganggarkan Rp 1 miliar untuk memperbaiki jalur pejalan kaki (pedestrian), tempat bermain anak-anak, serta jalur terbuka untuk kafe dan restoran.

Dalam desain PDAU Kabupaten Kuningan, di Waduk Darma akan dibangun sebuah hotel dan resor besar dengan nilai investasi Rp 60 miliar. Proyek diperkirakan selesai lima tahun ke depan. Targetnya menjadikan Waduk Darma pusat wisata dan olahraga air di Indonesia.

Kesadaran untuk menggerakkan wisata Waduk Darma didasari kenyataan bahwa Kuningan kini mengandalkan pendapatannya pada pariwisata dan konservasi alam. Posisinya sebagai lahan tangkapan air di pantura membuat kabupaten tersebut bergantung banyak pada wisata. Waduk Darma yang indah dan damai jadi pintu awal menuju ke arah sana. Selamat berwisata!

 Oleh Rini Kustiasih
Kompas, 10 Juli 2012

Read more »

PULAU CINGKUAK, MENGUAK MASA LALU



Dekat. Itulah keunggulan utama Pulau Cingkuak sebagai salah satu lokasi wisata bahari di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Jaraknya sekitar 500 meter dari daratan utama Pulau Sumatera di kawasan Pantai Carocok, Kecamatan IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan. Seorang perenang andal tak akan kesulitan menyeberangi selat tenang menuju pulau itu.

Jika tak mau berenang, belasan perahu bermesin yang dioperasikan sejumlah operator dengan senang hati akan mengantarkan pengunjung. Tarifnya murah, Rp 10.000 untuk pergi pulang dari tempat perhentian di Pulau Batukareta.

Adapun dari daratan di Pantai Carocok menuju Pulau Batukareta, pengunjung bisa mencapainya dengan menyusuri jembatan sekitar 100 meter. Setiap perahu dioperasikan dua orang dengan kapasitas sekitar 30 pengunjung.

Jika musim liburan atau akhir pekan tiba, perahu seperti yang dioperasikan Masri Chaniago (50) dan Makmur Perdamaian (36) bisa sarat penumpang. ”Saya pernah bawa penumpang sampai 37 orang,” kata Masri. Namun, pada hari biasa, empat penumpang pun dilayani. Perahu milik Masri bermesin 15 PK (paardenkracht, tenaga kuda). Ada pula perahu dengan kekuatan hingga 40 PK.

Jelajah pulau

Jika selesai menikmati Pulau Cingkuak, pengunjung tinggal menelepon seorang operator perahu untuk minta dijemput. Sekitar lima menit kemudian, Anda sudah siap untuk kembali.

Namun, pengunjung pasti berat meninggalkan pulau seluas 4,5 hektar yang berpasir putih dan lembut itu. Godaan untuk berenang atau snorkeling (menyelam) di perairan pulau itu pun amat kuat. Namun, wisatawan harus berhati-hati dengan struktur batu bersemen yang memanjang sekitar 10 meter dari bibir pantai. Struktur kuno yang sebagian sudah luruh ke perairan itu diduga merupakan bekas dermaga pelabuhan.

Sekalipun perairan masih jernih, snorkeling di kawasan ini bisa berujung kekecewaan. Sesuai pengamatan Kompas, pekan lalu, kematian massal terumbu karang terpapar di perairan Pulau Cingkuak. Kondisi itu masih ditambah dengan sejumlah sampah domestik dan hanya sedikit ikan yang berkerumun.

Masri mengatakan, penangkapan ikan dengan memakai racun potassium sianida sempat dilakukan sebagian orang tahun 1990-an. Praktik yang tak mengindahkan kelestarian alam itu diduga menyumbang kerusakan terbesar pada ekosistem perairan. Sebab itu, berkelana mengelilingi pulau ini menjadi pilihan. Apalagi, di pulau ini juga masih bisa ditemui sisa struktur benteng peninggalan zaman kolonial, sejumlah makam, dan bekas dermaga pelabuhan.

Pada pintu benteng terdapat papan dengan tulisan Situs Benteng Portugis Pulau Cingkuak yang dipasang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar. Namun, menurut Guru Besar Sejarah Universitas Andalas, Padang, Gusti Asnan, benteng itu merupakan peninggalan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan Hindia Belanda.

Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Batusangkar Teguh Hidayat membenarkan, benteng itu merupakan peninggalan VOC. Penamaan situs Benteng Portugis hanya mengikuti sebutan yang sudah melekat pada masyarakat.

Untuk merawatnya, BP3 Batusangkar menunjuk Martias (54) sebagai juru pelihara. Martias mengatakan, sekitar tahun 1995 bangunan benteng itu dipugar. Kini sebagian di antara struktur yang berdiri adalah hasil rekonstruksi, termasuk jalan setapak dengan batu kali untuk mempermudah pengunjung.

Selain struktur benteng, terdapat pula nisan berpagar di dalamnya yang ditulis dengan bahasa Perancis. Tulisan itu menyebutkan, nisan dibuat oleh keturunan Madame Van Kempen pada Agustus 1911.

Madame Van Kempen diperkirakan meninggal sekitar 150 tahun sebelumnya. Madame Van Kempen, sesuai tulisan di nisan itu, adalah istri Thomas Van Kempen yang dituliskan sebagai Residen Poeloe Tjinko (Pulau Cingkuak).

Sebuah makam lain adalah replika nisan bertuliskan Nurlian yang dibangun Martias. Nurlian adalah ayah Martias. Nurlian tak dimakamkan di lokasi itu karena saat meninggal sedang tak berada di pulau itu.

Pada bagian barat pulau yang menghadap ke Samudra Hindia terdapat gerbang dari batubata yang masih terlihat rapi. Buku Direktori Pulau di Provinsi Sumatera Barat dari Direktorat Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009) menyebutkan Pulau Cingkuak berarti nama binatang kera.

Daya tarik pantai

Yudi (29), seorang pengelola kedai di pulau itu, mengatakan, pengunjung lebih tertarik menikmati pantai ketimbang pergi ke bekas benteng. Jumlah wisatawan pada akhir pekan bisa mencapai 300 orang dan ribuan orang pada musim liburan atau hari raya. Pada hari kerja hanya sekitar 50 orang. ”Kebanyakan pengunjung lebih tertarik mandi dan berenang di pantai atau mencoba banana boat,” kata Yudi.

Martias menambahkan, kini pulau itu tak ditinggali, kecuali pada akhir pekan oleh sejumlah pemilik kedai saat pengunjung ramai. Namun, setelah zaman pendudukan Belanda, pulau itu pertama kali ditinggali ayah dan ibunya, yakni pasangan Nurlian dan Pawarna, tahun 1954.

Bersama orangtua dan saudara kandungnya, Martias sempat tinggal di pulau itu. Ia mulai membuka kedai di pulau itu tahun 1996 sejak kunjungan wisatawan mulai ramai. Setelah sempat merantau keluar pulau, mulai empat bulan terakhir ia kembali tinggal di pulau itu untuk mengelola kedai. Pala, kelapa, cengkeh, sukun, dan sejumlah buah-buahan ditanam sebagai sumber penghasilan. Sejak kunjungan wisatawan ramai tahun 1990, ia dan kerabatnya mulai fokus pada usaha kedai makanan.

”Namun, setelah tsunami di Aceh tahun 2004 hingga empat tahun sesudahnya, pulau ini sepi dari pengunjung,” kata Martias.

Kini selain pendapatan dari kedai makanan, Martias dan sejumlah pemilik hak atas pulau itu memperoleh bagian dari setiap penumpang kapal penyeberangan wisata. Selain itu, ada juga organisasi kemasyarakatan yang menerima bagian.
Bagi operator perahu, seperti Masri dan Makmur, uang yang diterima pemilik pulau dan organisasi kemasyarakatan untuk menjaga kebersihan dan keindahan pulau itu. Namun, kini Pulau Cingkuak kotor. Sampah berserakan di berbagai area.

Keluhan itu juga diutarakan Edison (35), wisatawan dari Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. ”Pulau ini strategis karena dekat dengan daratan dan tenang. Namun, masih perlu penataan seperti sampah yang ada,” sebutnya.

Menurut Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Pesisir Selatan Nazwir, untuk mengembangkan potensi wisata kawasan itu, pemerintah akan mengintegrasikan sejumlah pulau, yaitu Pulau Cingkuak, Pulau Semangki, Pulau Aur, Pulau Babi, dan Pulau Panyu, serta membangun berbagai fasilitas baru.
Oleh Ingki Rinaldi
Sumber Kompas 29 Januari 2013

Read more »

RASA MONGOL DI GUNUNG SALAK

Di kaki Gunung Salak, berderet tenda bundar berangka besi dan bambu ditutupi terpal putih. Diantara tenda-tenda yang seolah membentuk perkampungan itu, terpasang lampion-lampion aneka warna. Ini sebuah upaya "mengcangkok" Mongolia kecil di Gunung Salak.

Mongolian Camp - begitu manajemen The Highland Park Resort - Hotel menyebut kawasan tersebut  - berada di kawasan Sinarwangi, Desa Sukajadi, Kecamatan Bogor, Jawa Barat. Tenda-tenda tersebut berada di lahan terbuka di kaki Gunung Salak dengan ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut.

Bagi mereka yang jenuh dengan kepadatan Jakarta, dan polusi udara, kawasan ini bisa menjadi salah satu opsi selain Puncak yang sudah padat dengan restoran dan hotel serta macet saat libur akhir pekan. Jarak dari Kota Bogor menuju lokasin tersebut sekitar 10 kilometer ke arah barat. Udaranya cukup sejuk dengan tawaran lanskap pegunungangan dan perkebunan bunga.

Sejak diluncurkan pada Mei 2011, manajemen Mongolian Camp baru menyediakan sebanyak 31 tenda untuk kamar tidur dan 2 tenda untuk ruang pertemuan. Setiap kamar tidur bisa dihuni 2-6 orang. Tenda-tenda ditata jadi dua barisan yang berhadapan, dipisahkan tanaman kecil yang dilengkapi bangku-bangku batu kecil. Pepohonan yang tingginya baru 1-1,5 meter memagari sebagian sisinya.

Bentuk tenda itu tidak sepenuhnya bundar. Bagian atas tenda agak mengerucut. Sementara di bagian luar terpal masih terlihat sisa-sisa ornamen tempelan yang memberi kesan etnik, tetapi kini dicopot untuk dipercantik ulang. Bentuknya sederhana dan didesain sedikit menyerupai ger, tenda bundar milik bangsa Mongolia yang hidup nomaden.

Kendati tampilan luar tenda tersebut biasa saja, interiornya seperti di kamar hotel berbintang. Lantai dilapisi marmer dan ruangan dilengkapi penyejuk udara, kursi mini, tempat tidur, telepon , dan televisi layar datar. Kamar mandi dari bangunan permanen yang "ditempelkan" ke tenda tersebut dilengkapi air panas.

Dari dalam tenda, garis-garis rangka bambu terlihat jelas. Sementara kain aneka warna - merah, kuning, biru, dan jingga - melapisi dinding tenda hingga atap tenda. Mebel kayu dengan warna hitam mendominasi kamar. Namun sayang, ornamen etnik di dalam tenda tersebut masih kurang menunjukkan Mongolia. Selain itu, konstruksi kayu yang menjadi "roh" ger juga diganti dengan bambu dan besi yang lebih praktis.

John Man dalam bukunya Jengis Khan: Legenda Sang Penakluk  dari  Mongolia, menuturkan, keberadaan ger mengingatkan bahwa, untuk hidup nyaman, pengembara-pengembara Mongolia membutuhkan hutan sebagai "pelabuhan" mereka. Ini karena kayu-kayu yang digunakan sebagi kisi-kisi dan jeruji atap ger terbuat dari kayu yang tak akan ditemukan di padang rumput, tetapi di hutan.

Franky Ibrahim, General Manager The Hingland Park Resort - Hotel mengatakan, pihaknya sengaja tidak sepenuhnya mengadaptasi tenda tradisional Mongolia untuk kenyamanan pengunjung. Daud (55) mendapat konsep itu saat mengunjungi hotel resor yang menawarkan konsep serupa di Kanada. Ia lalu mendatangi Mongolia untuk melihat ger yang ali. Namun, ia memutuskan memberi modifikasi untuk kenyamanan  pengunjung.

Selain menyedikan tenda Mongol modern, pihaknya juga melengkapi diri dengan aneka permainan, seperti lapangan futsal semi tertutup, mini waterboom, flying fox, trek joging, kebun bunga, dan permainan air soft gun .

"Pengunjung yang menginap bisa mendapatkan fasilitas gratis menggunakan mini waterboom, lapangan futsal, dan trek joging, " tutur Franky, seraya menambahkan, pihaknya akan mengembangkan arena panahan dan pacuan kuda di kawasan itu.

Untuk mencoba bermalam di  ger modifikasi itu dan sedikit menyesap "rasa" Mongolia, pengunjung harus membayar Rp.2 juta-Rp.2,5 juta per malam, termasuk makan untuk dua orang.

Menurut Franky, pengunjung yang sekadar ingin menikmati fasilitas non menginap juga bisa mendatangi Mongolia Camp. Selain itu, pengunjung juga bisa mencicipi aneka makanan yang ditawarkan di restoran. mulai dari menu tradisional, menu Bara dengan aneka steak, hingga menu Mongolia, seperti Khanate Lamb, yakni steak kambing yang dihidangkan dengan saus khas Mongolia, kentang, dan sayuran.

Jika sekadar ingin makan, pengunjung bisa juga menikmati destinasi wisata di sekitar Mongolian Camp. Sekitar 700 meter dari lokasi itu terdapat Curug Nangka dan Pura Agung Jagakartha sebagai pura terbesar di Pulau Jawa.

Oleh Antony Lee
Sumber Kompas 27 Agustus 2011 

Read more »

PANTAI HAMADI BERPAYUNG PELANGI

Semburat lembayung mengiringi kemunculan pelangi di atas Pantai Hamadi. Sebagian pengunjung yang menanti matahari tenggelam terpana. Terpaan angin senja mengiringi senda gurau di bibir Teluk Yotefa. Inilah ruang publik Jayapura, Papua yang mulai ramai.

Hamparan pasir putih seolah menambah pesona langit dan bumi di pantai Yotefa. Pelangi seperti itu kerap kali muncul di kaki langit Teluk Yotefa.

"Dalam satu pekan bisa 1-3 kali. Jadi di sini orang-orang datang untuk berenang, duduk santai, berkumpul dan berseda gurau bersama keluarga." ujar Vince Afaar (48), warga Kelurahan Hamadi, yang mengaku pemilik tanah adat sekitar 500 meter persegi di bibir pantai itu.

Pantai dengan hamparan pasir putih halus itu mulai ramai dikunjungi warga Jayapura sejak tahun 2001. Saat itu belum ada tempat duduk atau pondok teduh seperti sekarang.

Pondok teduh dan tempat duduk sepanjang hampir 2,5 kilometer menyusuri bibir pantai sampai puluhan kilometer ke arah daratan itu, milik enam suku. Mereka adalah suku Ireuw, Afaar, Chayy, Hasor, Hanasbey, dan suku Hamadi. Setiap suku memiliki luasan lahan 5.000-10.000 hektar.

Sayang meski menjadi salah satu tujuan utama kunjungan warga Kota Jayapura dan sekitarnya, pantai itu belum dikelola baik oleh pemerintah setempat. Tidak ada WC umum, kamar mandi  atau kamar ganti, air bersih, tempat parkir kendaraan, dan tempat istirahat layak pakai.

Pantai dikelola secara perorangan atau suku sesuai kemampuan. Pondok teduh, para-para dan perahu pesiar yang parkir di sebelah utara pantai, milik pengelola pantai.

Setiap suku memiliki 2-4 pondok teduh, belum termasuk para-para (gubuk bambu). Satu pondok untuk 30-50 orang berteduh bertarif Rp.100.000, para-para untuk 10-15 orang Rp.50.000,- dan duduk-duduk beralaskan tikar Rp.30.000,-. Parkir kendaraan roda empat Rp.10.000, truk/bus Rp.20.000, dan roda dua Rp.5.000 per kendaraan. Pengeluaran ini khusus untuk pemilik tanah adat.

Kendaraan yang masuk dari pintu gerbang dipungut biaya Rp.10.000-Rp20.000 dengan karcis yang dikeluarkan Pemkot Jayapura. Pungutan ini dinilai sebagai bagian dari retribusi Kota Jayapura tetapi sebagian pengunjung meragukan pungutan itu.

Pantai ini sering digunakan kelompok masyarakat yang merayakan hari ulang tahun, acara syukuran, piknik keluarga, piknik instansi pemerintah dan lainnya. Biasanya berombongan terdiri dari 50-100 orang. Mereka menyewa satu areal khusus dengan biaya Rp.500.000-Rp.1 juta.

Tidak ada data resmi tentang pengunjung pantai per bulan. Namun rata-rata setiap pekan 200-300 orang terutama hari Sabtu dan Minggu. Para pengelola tidak membuat catatan jumlah pengunjung.

Yohanes Tukan, salah seorang penggemar Pantai Hamadi mengatakan, pungutan di pantai itu terlalu besar, mulai dari pintu masuk, tempat parkir kendaraan, dan tempat duduk (rekreasi). Setiap tempat sudah dikapling pemilik tanah sehingga pengunjung tidak bisa bergerak ke mana-mana kecuali duduk atau bermain di tempat yang sudah dibayar.

Pengaplingan itu bukan dari setiap suku, melainkan berdasarkan anggota keluarga dari suku itu. Tiap anggota keluarga memiliki kapling sendiri, mereka duduk berjaga setiap hari Sabtu,Minggu, dan hari libur. Hari-hari itu pengunjung sangat padat.

Perlu perhatian
Sebelum tahun 2005, pantai itu belum ditanami pohon. Kini lima tahun belakangan, dinas kehutanan setempat telah menanam cemara di sepanjang bibir pantai. Cemara itu sudah mencapai ketinggian sekitar 10 meter.

Samson Hamadi, juga pemilik salah satu kapling, mengatakan, Pemkot Jayapura perlu memberi perhatian terhadap pantai itu. Suda beberapa kali dinas pariwisata setempat mengundang warga pengelola pantai Hamadi, tetapi hasilnya belum tampak.

"Pemerintah berjanji membangun kamar mandi, WC, ruang ganti, dan bahkan tempat istirahat bagi pengunjung. Sayangnya, sampai hari itu belum ada realisasi.Pemerintah baru sebatas membuat beton pemercah gelombang yang ditampatkan sekitar 15 meter dari bibir pantai. Beberapa pengelola pantai mengajukan proposal bantuan pun belum ditanggapi. "Padahal sudah ada dana pemberdayaan masyarakat asli dalam otonomi khusus," kata Samson.

Jika pantai di pusat Kota Jayapura ini dikelola secara apik tapi murah meriah, tentu warga akan berjubelan di sini. Hanya dengan catatan mereka yang bertugas di pantai tidak boleh mabuk-mabukan apalagi berlaku kasar terhadap pengunjung.

Tampaknya, soal pengelolaan pantai sebagai tempat rekreasi orang Jayapura perlu berguru pada Pantai Segara Indah, Distrik Bosnik, Kabupaten Biak Numfor, Papua.

Pantai yang berada di pesisir selatan Biak itu jauh lebih tertata rapi. Tampak sederetan pondok berukuran 2 meter x 3 meter beratap seng. Juga tempat duduk panggung berjajar sepanjang 500 meter mengikuti lekuk pantai.

Oleh  Kornelis Kewa Ama
Kompas 26 Juni 2012

Read more »

SENSASI DINGINNYA AIR DI PARAKU



Penuhi bak mandi dengan air dari kulkas, lalu berendamlah. Kita akan memperoleh gambaran seperti apa rasanya mandi di aliran deras Sungai Lubuak Paraku, Kelurahan Indarung, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat.

Sejuknya hawa sekitar aliran sungai di dataran tinggi itu juga menimbulkan sensasi lain seusai berendam di dalamnya. Asap tipis mengepul dari hidung dan mulut yang diembuskan. Asap yang sama juga keluar dari sekujur badan yang dilapisi baju renang tipis.

Pagi itu, pukul 09.00, Abil Pratama Noffa (4), dan ayahnya, Hermansyah (46), tengah mandi di situ.

Abil beberapa kali mendemonstrasikan kelihaiannya meloncat dari atas batu di pinggir sungai. Sementara Hermansyah pergi ke puncak batu besar di atas lubuk setelah bersabun di pinggir sungai.

Dari ketinggian batu sekitar 1 meter, ia melompat ke dalam lubuk. Airnya berwarna kehijauan yang diperoleh dari hasil pembiasan cahaya dasar sungai.

Sejumlah warga memanfaatkan aliran sungai itu untuk mandi ataupun mencuci pakaian. Aktivitas itu terutama berlangsung pada pagi hari ketika asap tipis masih mengepul saat orang berbicara.

Selain udara sejuk dan air dingin, kupu-kupu dan capung relatif mudah ditemui di kawasan itu. Kehadiran capung merupakan indikator kebersihan air.

Air Sungai Lubuak Paraku memang terlihat jernih. Dasar sungai yang dipenuhi batuan kecil terlihat dengan jelas. Inilah yang menjadi alasan lokasi itu ditetapkan sebagai salah satu kawasan wisata di Kota Padang.

Pada akhir pekan, terutama hari Minggu menjelang sore, puluhan pengunjung datang ke lokasi tersebut. ”Biasanya anak-anak remaja atau pengunjung keluarga yang mandi di bagian pinggir,” kata Ade Pramita Risman (18), salah seorang pengelola kedai makanan dan minuman.

Hingga tahun 2001, imbuh Ade, bahkan masih terdapat sejumlah tempat duduk dengan kanopi berbentuk payung dari bahan semen. Jumlahnya delapan buah, termasuk dua ruang ganti baju yang disiapkan.

Kini, tidak satu pun tersisa. Demikian pula dengan ruang ganti baju yang tidak terlihat lagi bagian pintu dan atapnya. Dindingnya kusam.

Lubuak Paraku terletak sekitar 25 kilometer ke arah timur pusat Kota Padang. Lubuak Paraku berada di jalur menanjak menuju Kabupaten Solok. Bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi ataupun menumpang sejumlah angkutan umum yang melaju ke arah Solok.
Menurut Ade, saat pengunjung penuh, setiap wisatawan biasanya dikutip uang masuk Rp 5.000. Namun, saat Kompas berkunjung pagi itu, tidak seorang pun mengutip uang.

Di Sungai Lubuak Paraku, bagian lubuk yang kini menjadi kawasan wisata terbentuk oleh aktivitas pengambilan batuan besar. Adapun bagian lubuk sebelumnya kini menjadi aliran deras biasa. Letaknya sekitar 4 meter ke arah arus berlawanan lubuk saat ini.

Rasidin (65), salah seorang warga, mengatakan, pada tahun 1974 sejumlah alat berat masuk ke pedalaman hutan kawasan itu. ”Batu-batu besar diambil untuk dipasang di kawasan pantai Kota Padang sebagai pemecah ombak,” kata Rasidin.

Lubuk merupakan palung di tengah aliran sungai yang terbentuk dari gelontoran air yang mengguyur deras di atasnya. Bagian lubuk mafhum diketahui sebagai tempat ikan-ikan berkumpul.

Menurut Rasidin, jenis ikan yang banyak terlihat ialah ikan gariang (Tor tambroides). Namun, dalam beberapa tahun terakhir jumlahnya semakin berkurang. Itu termasuk pula ikan mungkuih (Gobiidae) dan spesies belut besar dengan diameter sekitar 20 sentimeter dan penjang lebih dari 1 meter.

”Dulu, jika kita keluar untuk menangkap ikan, sudah bisa kita pastikan kepada orang di rumah untuk menyalakan api dan memanaskan wajan karena pasti dapat ikan. Sekarang ini belum tentu bisa seperti itu,” kata Rasidin.

Tahun 1965 ia bahkan punya pengalaman unik. Setelah sempat ”menembak” seekor belut besar dengan alat tradisional bertenaga tegangan karet, ia merantau ke Pekanbaru, Riau.

”Tembakannya kena mata belut, tapi belut itu berhasil kabur. Namun, sekitar 3,5 tahun kemudian, belut yang sama berhasil saya tangkap,” katanya.

Rasidin yang kini tinggal di kawasan Padang Besi, Kota Padang, masih memiliki 200 pohon kakao di kawasan itu.

Ia mengatakan, jumlah ikan gariang yang menurun terlihat dari ketiadaan ikan-ikan itu di pinggiran sungai. Padahal, sebelumnya, kata Rasidin, ikan-ikan jenis itu bisa ditemui dengan mudah.

Ferri Atmaja dari Kelompok Cinta Alam dan Lingkungan Hidup Rafflesia Universitas Andalas mengatakan, ikan gariang merupakan jenis yang menghuni sungai jernih. Karena itu, yang dicari ikan gariang adalah arah ke hulu sungai.

Berkurangnya populasi ikan gariang disebabkan beragam faktor, termasuk perubahan bentang alam sebagai dampak pembangunan yang cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan.

”Bisa jadi sebagian masyarakat juga ikut andil, seperti perambahan hutan serta cara penangkapan ikan dengan setrum atau racun. Kalau dulu kan hanya memancing sehingga populasi masih relatif banyak,” kata Ferri.

Pergeseran metode penangkapan ikan yang diiringi perkembangan tuntutan hidup, imbuh Ferri, juga menjadi penyebab.

Menurut Ferri, aliran Sungai Lubuak Paraku berhulu di kawasan Bukit Barisan di perbatasan Kota Padang dan Kabupaten Solok. Adapun muara aliran sungai itu berada di Batang Arau yang berujung di Pelabuhan Muaro, Kota Padang.

”Sungai Lubuak Paraku menjadi sistem daerah aliran Sungai Batang Arau. Di kawasan Indarung bertemu sejumlah anak sungai lain dan dimanfaatkan juga sebagai sumber tenaga PLTA Kuranji,” kata Ferri.

Kini, selain kakao dan mengandalkan kunjungan wisata, sebagian penduduk mengandalkan penghasilan pada tanaman seperti kakao. Sebagian lain bekerja di sektor jasa transportasi.

Akan tetapi, bertanam kakao bukan tanpa risiko. Resmaneli mengatakan, serangan penyakit yang membuat bagian daun dan buah seperti layu berlangsung hampir satu tahun terakhir. ”Bagian dalam buah coklat layu dan daunnya juga layu,” katanya.

Serangan penyakit itu baru terjadi sejak delapan tahun terakhir ia bertanam komoditas kakao. Kini, ada sekitar 1.000 pohon kakao yang ditanamnya di lahan kebun milik keluarga.

Akibatnya, harga jual biji kakao juga turun drastis. Resmaneli mengatakan, saat ini harga biji kakao Rp 16.000 per kilogram atau turun dibandingkan harga sekitar satu tahun sebelumnya, yakni Rp 23.000 per kilogram.

Sekitar 50 hektar hingga 100 hektar lahan di Lubuak Paraku ditanami kakao dari total sekitar 800 hektar lahan di Kota Padang yang ditanami kakao.

Kesejukan dan kesuburan yang membawa berkah.

Oleh Ingki Rinaldi
Sumber Kompas 17 Juli 2012

Read more »

Popular Posts

counter