WISATA 3-IN-1 DI TRAWAS

-->
Kawasan wisata Trawas seolah kalah pamor dibandingkan dengan kawasan wisata lainnya di Indonesia. Namun, sebagai alternative tujuan wisata kawasan ini patut juga dikunjungi. Di sana kita tak cuma berwisata alam, tetapi juga bisa belajar Iingkungan hidup dan sejarah.
Kalau Anda pribadi yang cinta lingkungan, kawasan wisata Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, bisa menjadi tujuan wisata yang cocok. Letaknya sekitar 60 km dari Surabaya atau sekitar 45 km dari Malang. Alamnya asri.Udaranya sejuk dan bersih. Suasananya tenang. Tak heran kalau kawasan ini menjadi pilihan kaum berduit untuk mendirikan vila. Di kawasan ini, Anda dapat mengunjungi air terjun Diundung, PPLH Seloliman, dan Candi Petirtaan Jalatunda.
Mari kita kunjungi satu persatu.
Air terjun Diundung terletak di Desa Klemoko, Trawas. Ketinggian air terjunnya sekitar 23 m. Air terjun ini berada di kaki Gunung Welirang. Ia berada di kawasan wisata dalam hutan yang didominasi pohon pinus seluas 1.600 ha milik Perhutani KPH Pasuruan, Kabupaten Mojokerto. Luas kawasan wisata air terjun Diundung sendiri sekitar 4,5 ha. Selain air terjun, di kawasan ini juga terdapat areal untuk bersantai serta camping ground yang cukup luas dan nyaman.
Untuk memasuki kawasan wisata ini, kita cukup membayar tiket masuk seharga Rp 3.600,- per orang. Kalau mengendarai kendaraan, kita juga mesti membayar tiket masuk untuk kendaraan itu, Rp 2.000,- per mobil dan Rp 1.000,- per sepeda motor.
Begitu memasuki gerbang kita akan melewati jalan aspal mendaki sejauh 1 km, dengan pemandangan hutan pinus dan persawahan, sebelum tiba di pelataran parkir kendaraan bermotor. Tempat parkir motor bisa menampung lebih dan 50 sepeda motor. Sementara, areal parkir mobil cuma mampu menampung sekitar 5 mobil sedan atau minibus. Di sisi areal parkir terdapat warung makan. Di Warung ini dijual beragam makanan, dari makanan ringan hingga bakso, serta minuman penghangat seperti kopi atau teh dan minuman dalam kemasan.
Sekitar 30 m dari sana, terdapat saung permanen berukuran sekitar 5 x 5 m yang berlantai keramik. Di sinilah kita dapat duduk-duduk santai sebelum atau sesudah menikmati indahnya air terjun Diundung.
Dari tempat parkir menuju air terjun kita mesti melalui jalan setapak yang telah diplester selebar 1 m. Kalau dalam keadaan basah, jalan tersebut terasa agak licin, sehingga kita mesti berhati-hati agar tidak terpeleset. Di kiri-kanan jalan tampak alam yang masih asli dengan berbagai jenis tanaman, dari perdu hingga tanaman keras.
Di bagian bawah air terjun, air bening tampak menggenang sebelum mengalir ke sungai kecil menuju ke bagian yang lebih rendah. Untuk keselamatan, kita dianjurkan tidak mendekati tempat jatuhnya air. Kita cukup main air, berendam, atau mandi di tepi”kolam” penampungan air terjun itu. Kalau sudah begitu, segala beban kehidupan
bisa terlupakan.
Berekreasi dan belajar Iingkungan
Dari menikmati sejuknya udara dan asrinya alam di sekitar air terjun Diundung, perjalanan dapat dilanjutkan ke Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman. Lokasinya di Desa Seloliman, di lereng barat Gunung Penanggungan dengan ketinggian 350 - 400 mdpl. Jarak dan air terjun Diundung kira-kira 15 km butuh waktu 30 menit perjalanan dengan mobil.
Asal tahu saja, PPLH Seloliman ini didirikan oleh Yayasan Indonesia Hijau (YIH, berdiri pada 1978) pada 1990 sebagai pusat kegiatan pendidikan ligkungan. “Semua kegiatan dilakukan di dalam center ini. Mulai dari pengelolaan hutan tropis, pencemaran lingkungan, pengolahan sampah, pertanian organik, pembangkit mikrohidro, solar cell, hingga tungku serbuk gergaji. Sebenarnya, isu besarnya adalah pertanian organik,” ugkap Sisyantoko, direktur eksekutif PPLH Seloliman. Semua media untuk belajar Iingkungan ada dalam center ini.
Sebelumnya, YIH menjalankan edukasi lingkungan secara door to door yang pada akhirnya dianggap tidak efisien. Karena itu, didirikanlah PPLH Seloliman. Lokasi ini dipilih lantaran murah dan media pendidikannya banyak, banyak peninggalan sejarah berupa candi, dekat dengan pemukiman, dan tidak terlalu jauh dan ibukota Jawa Timur.
Sesuai dengan namanya, semua fasilitas di dalamnya dibuat ramah lingkungan. Begitu sampai di gerbang masuk kompleks seluas 3,3 ha ini kita sudah merasakan suasana alami. Gerbang itu berbahan batu dengan genteng tanah liat yang dirambati tanaman. Begitu masuk, suasana bersahabat dengan alam sangat terasa. Jalannya dibiarkan tidak beraspal dan di setiap sudut halaman selalu ada tanaman. Tempat sampah yang disediakan dibuat spesifik untuk sampah tertentu, seperti logam, kaca, plastik, kertas. Sampah organik tak terlalu menjadi persoalan karena memang tidak membahayakan hingkungan. Bangunan-bangunannya pun dibuat efisien dalam penggunaan energi, misalnya dengan menempatkan jendela di sudut bangunan.
PPLH Seloliman terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung. Dari anak TK hingga perguruan tinggi. Dari komunitas informal hingga organisasi formal.
“Tapi semua itu harus dikoordinasikan dengan kami. Di sini SDM-nya terbatas. Kalau tiba-tiba ada 50 orang berkunjung, kami akan kerepotan,” jelas Toko, panggilan akrab Sisyantoko. Di sini kita dapat menikmati sejuknya udara pegunungan. Di malam hari, kita bisa mendengarkan suara jengkerik dan memandang bintang gemintang di langit. Lebih dari itu, kita juga dapat belajar segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan pelestariannya. Misalnya, mengenal ekosistem hutan tropis, pencemaran lingkungan, lingkungan keluarga pedesaan, energi alternatif dan teknologi tepat lingkungan, pengelolaan sampah, serta lanskap dan ansitektur lingkungan.
Untuk itu, berbagai contoh pengelolaan alam dan lingkungan yang baik diperlihatkan. Dari yang sederhana, pemisahan dan pemanfaatan sampah, pemanfaatan energi matahari, hingga bangunan yang efisien dalam penggunaan energi.
Untuk belajar lingkungan, metode pembelajarannya merupakan gabungan antara kegiatan rekreasi / wisata dan pendidikan. Karenanya, terpat ini tak hanya rnenyenangkan untuk orang dewasa, tetapi juga untuk anak-anak TK. Ketika Intisari berkunjung ke tempat ini awal Maret lalu misalnya, tak kurang dari 40 siswa sebuah TK swasta di Mojokerta dengan ceria belajar lingkungan hidup. Mereka diajak mengenal tanaman-tanaman yang dapat digunakan sebagai pewarna alami. Mereka juga digiring ke kandang kambing untuk mengenal dan memberi pakan hewan ternak tersebut. Mereka dikenalkan pula pada dunia berkebun.
Sementara anak-anak asyik dengan kegiatan mereka, ibu-ibu mereka dikumpulkan untuk menerima Wawasan baru tentang PPLH Seloliman, lingkungan hidup, dan pelestarian alam. Mereka juga diberi wawasan tentang perlunya menghindari pemakaian pewarna, dan penyedap buatan dalam memasak.
Untuk mendukung kegiatan itu, di PPLH Seloliman tersedia bungalow dan guest house. Setiap bungalow dilengkapi pemanas air bertenaga matahari. Untuk urusan makan, tersedia restoran yang siap melayani kebutuhan makan dan minum.
Tentu saja, fasilitas-fasilitas tersebut juga berorientasi pada lingkungan. Misalnya, bahan makanan yang dimasak di restoran PPLH diutamakan bahan makanan organik. “Kalau tidak begitu, (tujuan) keberadaan kami akan dipertanyakan,” tegas Toko. Masakan tersebut juga tidak menggunakan vetsin.
Untuk keperluan oleh-oleh PPLH Seloliman juga menyediakan kios oleh-oleh. Di sini kita dapat membeli oleh-oleh berupa sayur dan buah yang ditanam secara organik oleh penduduk di sekitar PPLH. Macam-macam keripik hasil kebun organik, misalnya keripik bayem, pisang, dsb, juga tersedia di kios ini.
Mandi awet muda
Dari PPLH Seloliman jangan dulu pulang. Singgahlah ke Candi Petirtaan Jalatunda, masih di Seloliman, letaknya sekitar 2 km dari PPLH. Persisnya di lereng Gunung Bekal, salah satu puncak gunung Penanggungan pada ketinggian 450 mdpl.
Objek wisata sejarah ini berupa candi tempat mandi peninggalan Raja Airlangga. Candi menempati area sekitar 1 ha. Namun, luas candinya sendiri cuma sekitar 200 m2. Bagian tertingginya kira-kira hanya 6 m dari permukaan tanah. Sumber resmi menyatakan, candi ini merupakan candi Petirtaan yang disiapkan Raja Udayana dari Bali yang mempersunting Putri Gunapriyadharmaphatni, ibu Airlangga. Pembangunannya dilakukan pada tahun 997 M dan sampai saat ini, candi telah mengalami pemugaran hingga tiga kali, tahun 1931, 1972, dan 1990.
Candi Petirtaan Jalatunda terdiri atas tiga bagian utama, yakni kolam mandi di kiri kanan candi dengan dinding batu, candi utama di bagian tengah yang dikelilingi saluran air, serta kolam yang menampung air limpahan dari kedua bagian tersebut sebelum dialirkan ke saluran pembuangan. Di kolam penampungan ini terdapat ikan koi beragam ukuran yang terlihat jelas karena airnya sangat jernih. Menurut cerita, air petirtaan ini merupakan air terjernih di dunia.
Di candi ini pengunjung dapat mandi atau melakukan ritual persembahyangan atau ziarah. Maka, jangan heran kalau di salah satu bagian kolam mandi tampak bekas-bekas orang melakukan ritual itu berupa bunga dan dupa.
Ada kepercayaan, orang yang mandi di petirtaan ini bisa awet muda. Selain itu, dengan mandi di sana beberapa penyakit dapat disembuhkan. Cuma, saat mandi kita tidak diperkenankan menggunakan sabun mandi atau sampo.
Menunut Kayun, petugas dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang menjaga candi itu, pengunjung biasanya ramai pada malam Jumat manis (legi) dan bulan purnama. Hanya dengan uang Rp 3.500,-/orang kita dapat memasuki kompleks candi ini. Mau mandi, silakan. Mau berdoa, juga tak dilarang.
Menginap & belajar sehat
Semua objek wisata di atas, sebenannya dapat dicapai dalam sehari kunjungan. Namun enggak ada salahnya kita menginap di kawasan itu. Selain di PPLH Seloliman, penginapan Newstart Indonesia bisa dijadikan alternatif untuk menginap. Letak penginapan ini di Desa Slepi, tak jauh dan ketiga tujuan wisata di atas. Jarak dan penginapan ini ke air terjun Diundung cuma 2,5 km, ke PPLH Seloliman sekitar 15 km, dan perlu 2 km lagi kalau mengunjungi Candi Jalatunda.
Yang istimewa dan penginapan ini adalah kita juga dapat belajar pola hidup sehat ala Newstart dan cara memasak yang benar. Khusus untuk anak-anak, mereka dapat juga mengikuti paket healthy tour. Di dalamnya termasuk belajar tentang tanaman organik.
Bagaimana cara mencapainya? Kalau Anda hendak ke sana dari Surabaya atau Malang, Anda mesti menuju kota Pandaan terlebih dahulu. Dan sana Anda menuju Trawas. Sayang sekali, kendaraan umum menuju kawasan ini terbatas. Kalau menggunakan kendaraan umum, ada dua pilihan yang bisa Anda pilih: minibus jurusan Trawas atau ojek. Keduanya dari terminal bus Pandaan. Kalau menggunakan minibus, bersabarlah. Pemberangkatan kendaraan umum ini lumayan lambat karena penumpangnya jarang. Kalau mau Cepat, gunakan ojek dengan ongkos yang lumayan mahal. Tentu saja, yang paling nyaman memang membawa kendaraan sendiri.
Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
I Gede Agung Yudana

Read more »

MENYELAMI PENINGGALAN PERANG DUNIA II DI MANOKWARI


-->
Menyelam tak harus ke taman laut yang indah. Ke wreck tempat peninggalan sejarah Perang Dunia II pun akan memberi kepuasan tersendiri. Itulah yang kami lakukan di Manokwari.

Agustus 2006 yang cerah, kami bersebelas memasuki kapal Putri Papua milik Grand Komodo di pelabuhan Anggrem, Manokwari. Kami hendak berlayar menuju Mapia Atol. Rasa kantuk akibat kurang tidur sirna seketika. Padahal, pagi harinya, pada pukul 03.45 kami sudah harus berkumpul di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Oooaah, malam hari sebelumnya saya nyaris tidak tidur, mempersiapkan peralatan menyelam yang akan dibawa hari ini.
Dalam rombongan kami terdapat teman-teman penyelam dan Corona Diving Club beberapa daerah, seperti cabang Jakarta, Lampung, dan Palembang. Dive master yang akan mendampingi kali ini Weka dan Noah. Weka sudah tidak asing lagi karena pernah mendampingi kami waktu menyelam ke Raja Ampat, dua tahun lalu. Terbayang, betapa menyenangkannya menyelami lokasi baru yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.
Amanat Sang Kakek
Pulau Mapia adalah pulau yang berada di posisi terluar di atas kepala burung Papua. Setelah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diambil Malaysia, kini pulau ini menjadi salah satu pulau terluar yang dijaga ketat oleh Angkatan Darat dan Angkatan Laut TNI. Hanya sayangnya, mereka tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai. Hal ini terlihat berbeda jauh dengan ketika kami menyelam ke Pulau Sipadan setahun sebelumnya. Di sana tentara Malaysia tampak begitu berwibawa dengan peralatan lengkapnya menjaga pulau tersebut.
Perjalanan yang biasanva memakan waktu sekitar 15 jam mengarungi Samudra Pasifik. kali ini molor jadi 20 jam. Penyebabnya, imbas badai di Filipina yang terjadi sehari sebelumnya. Alun gelombang yang tingginya mencapai 2 - 3 m membuat perjalanan kali ini luar biasa buruknya. Kapal berayun ke kiri dan ke kanan menimbulkan mabuk dan mual. Akhirnya ketika kami tiba di Mapia, hanya tersisa sedikit semangat dengan harapan menemukan lokasi penyelaman yang indah sebagai kompensasi pelayaran yang buruk ini.
Walaupun kami sudah menikmati asyiknya menyelam di Karang Barasi, Mercu Suar, dan Mulut Atol, rasa mual dan mabuk belum juga hilang, bahkan tambah menyiksa karena gelombang tidak kunjung reda. Mempertimbangkan kondisi teman-teman yang tidak bisa menikmati penyelaman ini, kami memutuskan untuk kembali ke Manokwari dan melakukan penyelaman kapal tenggelam di sana. Mestinya, penyelaman pengganti ini tidak kalah menariknya.
Menurut catatan-catatan kuno, ada lebih dan 400 kapal pernah tenggelam di seluruh perairan Indonesia. Kapal-kapal itu membawa banyak muatan barang-barang berharga seperti keramik, emas, perak, muatiara dan timah dalam jumlah besar. Selain itu juga ada kapal dengan muatan candu. Sayangnya, barang-barang tersebut sering diambil dengan tidak bertanggung jawab, sehingga menghilangkan data sejarah penting yang ada di dalamnya. Demikian juga kekayaan bernilai tinggi ikut terbang.
Irian Jaya di masa Perang Dunia II dulu menyisakan banyak kapal atau pesawat terbang yang tenggelam di perairannya. Yang terbanyak konon ada di sekitar Biak. Teluk Doreri di Manokwari adalah lokasi yang terlindung dari angin dan gelombang serta memiliki jarak pandang bawah air yang bagus. Seluruh badan kapal bisa terlihat dengan jelas. Menurut informasi yang diperoleh, ada lima lokasi wreck yang bisa di selami di sekitar perairan ini, sebagian besar adalah kapal dan hanya satu persawat.
Wreck pertama adalah Camauba. Pesawat capung P40 yang konon milik keluarga Johnson di Amerika Serikat, sempat dijual kepada orang Belanda. Pesawat ini kemudian dipakai untuk mengantar obat-obatan ke Manokwari selama masa Perang Dunia II. Dalam sebuah tugas, pesawat ini mengalami kerusakan mesin dan jatuh di Karang Tengah, di depan Mercusuar Teluk Doreri, Manokwari, pada kedalaman 30 m. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Pilot kemudian menandai posisi jatuhnya pesawat secara visual.
Mungkin erat kaitannya dengan sejarah keluarga, maka ketika sudah jaya, keluarga Johnson mendapat amanat dari sang Kakek pemilik pesawat, agar para penerusnya berusaha mencari pesawat tersebut. Diketahui beberapa kali keluarga Johnson datang ke Indonesia untuk mencari keberadaan pesawat tersebut, namun belum menemukannya.
Juli 2006, mereka datang kembali dengan membawa arkeolog, sarjana mesin, dan kru underwater film. Kali ini mereka beruntung, dengan bantuan dive master Grand Komodo pesawat tersebut bisa ditemukan. Kegembiraan tercermin di wajah sang Nenek dan anak cucunya. Barangkali mereka bahagia bisa melaksanakan amanat sang Kakek. Sebongkah batu yang sudah disiapkan dan dibawa dari Amerika Serikat ditaruh di depan bangkai pesawat, bertuliskan: I am Carnauba My true home is not this bay But the hearts of all who love adventure
Ketika kami melakukan penyelaman di Carnauba. rasanya seperti mengunjungi museum. Sebelum berkunjung sudah disuguhi sejarahnya. Carnauba menjadi satu satunya lokasi wreck yang ada keterangannya di dasar laut. Yaitu tadi, persis seperti di museum.
Di bawah sayap pesawat sebelah kiri terbaring malas seekor whobbegong, yang kami sebut sebagai hiu bego karena malas sekali. Tidak seperti ikan hiu umumnya yang kesannya garang, kerja hiu ini hanya diam di tempat sekalipun diganggu. Kerap kali kami menemukan bekas berbaringnya yang sudah berbekas cetakan badannya. Jadi bisa dibayangkan berapa lama hewan itu sudah berbaring di sana tanpa mengubah posisinya. Hiu jenis ini juga banyak ditemui ketika kami melakukan penyelaman di Raja Ampat.
Serangan ikan giru
Penyelaman kedua dilakukan di bangkai kapal Shinwa Maru. Kapal ini konon adalah kapal Jepang pengangkut peralatan militer seperti panser, meriam, bom, dll. Kapal yang ditorpedo sekutu pada tanggal 12 Agustus 1944, ketika masa Perang Dunia II, terbalik di dasar laut pada kedalaman 16 - 32 m. Kapal ini cukup besar dan tinggi, panjangnya 144 m. Bekas torpedo menyisakan lubang yang cukup besar. cukup untuk dimasuki tiga orang penyelam sekaligus.
Ruangan dalam cukup luas, kami leluasa menjelajahinya. Untung para dive master sudah mengingatkan kami untuk membawa senter apabila ingin melihat bagian dalam kapal. Di dalam terlihat mobil panser dan meriam yang masih jelas bentuknya, sekalipun sudah ditumbuhi karang keras dan lunak. Selain itu juga terdapat beberapa torpedo dan penyapu ranjau. Menarik sekali.
Sasaran berikutnya, Cross Wreck. Dinamakan Cross Wreck karena lokasi kapal tenggelam ini persis berada di depan monumen berbentuk salib besar, tidak jauh dari gereja Lahai Roi, Pulau Marsinam. Menurut informasi yang kami peroleh, di pulau inilah pada tanggal 5 Februari 1885 para misionaris untuk pertama kali singgah dan menyebarkan agama Kristen Protestan. Setiap tahun pa pada tanggal bersejarah ini masyarakat memperingati secara besar-besaran sebagai Hari Turunnya Injil Tuhan di Tanah Papua.
Kapal pengangkut barang milik Jepang ini kena tembak sekutu sampai terbelah dua pada posisi 200 m dari bibir pantai. Kapal berukuran panjang 35 m dan lebar 8 m itu kini tergeletak di kedalaman 26 m. Sekujur tubuhnya ditumbuhi karang keras dan lunak, dan menjadi tempat hidup ikan-ikan kecil beraneka jenis dan warna. Sungguh indah sekali, apalagi ditunjang oleh bidang pandang yang jernih, kira-kira 30 m, serta dasar laut berpasir putih bersih. Bagian dalam kapal bisa dimasuki melalui jendela besar. Banvak ditemukan botol-botol sake, peluru-peluru denapan, bom dan ranjau.
Karena kekhawatiran kemungkinan masih aktifnya bom dan ranjau ini, kami tidak diizinkan menyentuh, memegang, atau mengetuk-ngetuk barang tersebut.
Beberapa kali kami mengelilingi badan kapal dan menikmati keindahan karang lunak yang tumbuh dan menyatu di sana. Beberapa ekor ikan giru sedang menjaga telurnya dan kelihatan marah ketika kami mendekat. Mungkin menduga telurnya hendak diganggu. Tanpa rasa takut mereka “terbang” tinggi dan menyerang siapa pun yang mencoba mendekat. Teman saya tampak terkejut mendapat serangan yang tidak terduga ini. Kami yang melihatnya spontan tertawa, walaupun tidak bisa mengeluarkan suara
Tinggal sepenggal
Tujuan keempat kami adalah wreck Pill Box. Nama pill box berasal dari istilah pos penjagaan tentara Jepang yang terletak di pinggir pantai. Objek yang kami lihat adalah kapal pengangkut barang milik Jepang yang tenggelam di kedalaman 18 m, tidak jauh dan pill box, kira-kira 35 m dari bibir pantai. Kapal tersebut berukuran panjang 45 m dan lebar 12 m. Ia tenggelam dengan posisi menyamping kanan lantaran ditembak di bagian belakang. Bagian kiri belakangnya terbuka lebar, sehingga memudahkan penyelam memasuki badan kapal. Bagian atas sudah di- tumbuhi karang-karang lunak dan keras sehingga membentuk pemandangan indah.
Teman-teman saya paling senang di lokasi ini karena banyak objek foto yang bisa dibidik. Kami menemukan beberapa ekor nudibranch yang cantik, anemone crab, mantis shrimp, udang, dan ikan kecil yang bekeja sama menggali lubang. Asyik sekali mengamati kerja sama kedua hewan ini. Udang menggali lubang dengan cara mengambil batu karang kecil satu per satu keluar dari lubang dan ikan dengan sabarnya berjaga-jaga di depannya. Apabila ada gerakan sedikit saja, kedua hewan ini dengan gesit langsung lenyap ke dalam lubang.
Terakhir, kami menyelam di wreck Sepenggal. Disebut sepenggal karena di sini terdapat kapal karam yang tinggal sepenggal. Kapal pengangkut barang milik Jepang tersebut sebenarnya terbelah dua terkena tembakan sekutu dan karam di depan Pulau Pasirido pada kedalaman 20 m. Namun, belahan satunya tidak ada lagi sehingga hanya tinggal sepenggal, istilah lokal untuk menunjukkan bahwa kapal tinggal separuhnya. Kapal ini berukuran kecil dan banyak ruangan, sehingga tidak memungkinkan penyelam untuk menjelajahi bagian dalamnya.
Saat ini kapal sudah ditumbuhi karang keras dan lunak, sehingga menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil aneka jenis. Pada beberapa bagian kapal ditemukan kelinci laut atau nudibranch berbagai jenis, seperti Chromodoris sp. dan Nembrota sp. Juga ditemukan stone fish yang kaku tidak bergerak. Segerombolan transparent shrimp berwarna ungu terlihat sedang asyik bermain di dalam sebongkah kayu. Mereka ini menjadi sasaran bidikan kamera karena sangat cantik bila difoto. Selain itu juga banyak ditemukan udang pembersih atau cleaner shrimp serta pipe fish.
Jarak pandang yang cukup bagus, sekitar 30 m membawa kepuasan tersendiri bagi para penyelam. Penyelaman di kapal dan pesawat karam menutup perjalanan penyelaman kami. Besok kami kembali ke Jakarta. Walaupun perjalanan ke Mapia tidak membuahkan hasil maksimal, kami semua tetap menikmati perjalanan kali ini. Sebagai penyelam kami memaklumi kondisi alam yang sering kali tidak bisa ditebak.
Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
Lillie Chow

Read more »

SEHARI MENAKLUKAN LIMA CURUG


-->
Karena Jakarta dipenuhi hutan beton, bisa dipastikan kita tidak akan menemukan wisata air terjun. Namun kalau mau “bergeser sedikit”, persisnya ke Bogor, hanya dalam waktu satu hari kita bisa menikmati beberapa air terjun sekaligus. Sembarwi menghirup udara segar tentunya. Bila berminat silahkan meluncur ke Ciapus dan Kawasan Gunung Salak Endah
Air terjun di Ciapus dan Kawasan Gunung Salak Endah (GSE) memang tidak setinggi dan sebesar air terjun Niagara. Tapi cukuplah sekadar untuk dijadikan tempat refreshing dan mencari suasana baru setelah sepanjang minggu disibukkan oleh rutinitas pekerjaan.
Di Ciapus terdapat tiga air terjun (dalam bahasa Sunda disebut curug), yakni Curug Nangka, Curug Daun, dan Curug Kawung. Sedangkan di kawasan GSE terdapat Curug Cihurang, Curug Ngumpet, Curug Cigamea, dan Curug Seribu. Ke kedua kawasan itulah saya dan beberapa teman berwisata alam pada bulan April lalu.
Mandi atau main air
Untuk mencapai tempat-tempat itu kita mesti melewati kota Bogor. Kalau dari Jakarta, waktu tempuh tercepat bisa dicapai bila kita melalui jalan tol Jagorawi. Setiba di kota Bogor kita bisa melewati jalan dalam kota yang mengelilingi Kebun Raya. Sesampai di depan Bogor Trade Mall (BTM) kita berbelok ke kanan dan mengikuti rute angkot nomor 03 jurusan Ciapus. Dalam perjalanan ini kami memilih rute di atas. Alternatif lain, selepas tol Jagorawi kita berbelok ke kiri menuju Sukasari, Lawang Gintung, Jln. Pahlawan, dan Empang, lalu mengikuti rute angkot nomor 03 jurusan Ciapus. Jarak dari kota Bogor ke Ciapus kira-kira 15 - 20 km dan dapat ditempuh sekitar 45 menit.
Mengikuti rute angkot memang cara termudah untuk mencapai Ciapus. Tujuan akhir angkot nomor 03 ini adalah pertigaan sebelum pintu gerbang menuju ke Curug Nangka. Kadang-kadang angkot ini juga bisa sampai ke pintu gerbang curug. Di pertigaan ini kita bisa belok ke kiri, bisa pula ke kanan. Bila berbelok ke kiri, kita akan mencapai Curug Nangka. Sebaliknya, kalau berbelok ke kanan kita akan sampai ke Curug Luhur. Kami memutuskan untuk menuju Curug Nangka terlebih dahulu.
Setibanya di pintu gerbang curug, kita mesti membayar tiket masuk dan tiket untuk parkir kendaraan (tiket masuk Rp 3.000,- per orang, untuk parkir Rp 2.000,-). Air terjun pertama yang kami temui adalah Curug Daun, letaknya agak di atas. Untuk mencapai curug ini, pengunjung melewati jalan yang agak lebar, tetapi dengan kondisi jalan naik dan turun. Jrak dari areal parkir sekitar 400 m. Curugnya tidak terlampau tinggi, tapi aliran airnya cukup deras. Di situ pengunjung bisa mandi dan bermain-main air sepuasnya.
Sedangkan lokasi Curug Nangka berada di lembah yang curam dan tebing-tebing tinggi. Jadi diperlukan kewaspadaan yang tinggi. Kondisi air sungai juga perlu selalu dipantau. Bila ada hujan deras, airnya bisa meluap. ini berbahaya. Karena kami mengunjungi curug ini saat masih sering turun hujan, kami memutuskan untuk tidak pergi ke Curug Nangka. Kami hanya melihat aliran air yang menuju ke Curug Nangka. Tempat jatuhnya aliran air yang menuju Curug Nangka (pada bagian atas urug) sekarang diberi pagar kawat berduri. Pengunjung dilarang bermain-main di bagian ini karena sangat berbahaya.
Dari Curug Daun kami menuju Curug Kawung. Air terjun ini terletak di bagian hulu Curug Nangka. Jarak dari Curug Daun ke Curug Kawung sekitar 1 km dengan jalan etapak berkontur naik turun. Kami juga harus melewati sungai dan melompat dari batu yang satu ke batu lain sebagai tempat berpijak. Perja1anan menuju Curug Kawung cukup melelahkan dan benar-benar menguras tenaga.
Namun, rasa lelah itu akan terobati ketika kita sampai di tempat tujuan. Pemandangan di sini sungguh menakjubkan. Tinggi Curug Kawung sekitar 25 m. Letaknya di ceruk yang dikelilingi bukit yang hijau menambah asri pemandangan sekelilingnya. Lokasi curug ini cukup terbuka sehingga lebih aman bila sewaktu-waktu terjadi air bah.
Di tengah penjalanan pulang, kami bertemu beberapa kera yang sedang berayun-ayun di alas pohon. Meski tidak galak, kita penlu waspada. Bisa saja satwa primata tersebut mengambil barang bawaan kita. Kejadian tersebut hampir menimpa teman kami. Saat ia sedang melintas di bawah pohon, tiba-tiba seekor kera mencoba mengambil topi yang sedang dipakai.
Medannya ringan
Puas memandangi air terjun di kawasan Curug Nangka, penjalanan kami lanjutkan menuju Curug Luhur. Untuk ke sana kita mesti keluar dan pintu gerbang Curug Nangka dulu dan berjalan lurus. Jarak dari Curug Nangka ke Curug Luhur sekitar 8 km. Curug Luhur terletak di Desa Gunung Malang, Kecamatan Gunung Malang, Bogor.
Gerbang Curug Luhur berada di sebelah kanan jalan. Untuk menuju lokasi air terjun, tepatnya di dasar curug, kita mesti berjalan kaki sekitar 150 m. Dibandingkan dengan ketiga curug di atas, medan Curug Luhur tergolong paling ringan. Kondisi jalan menuju curugpun sudah tertata rapi. Jalan itu berupa undak-undakan semen yang menurun hingga ke lokasi.
Dinamakan Curug Luhur (dalam bahasa Sunda luhur berarti tinggi) karena ketinggiannya mencapai 50 m dengan lingkungan alami. Pemandangan Curug Luhur juga indah. Untuk menikmati keindahan itu kita mesti membayar tiket dulu. Harga tiket masuk ke curug ini per orang Rp 7.500.- Untuk parkir mobil dikenakan biaya Rp 4.500.- per mobil.
Begitu memasuki area utama Curug Luhur, terdapat sederetan limpahan air yang mengalir secara deras pada dinding tanah dengan ketinggian ± 2 m. Teman-teman kami menyebutnya curug mini, lantaran beberapa anak kecil bisa bermain air di tempat ini. Gelak tawa menyertai tingkah polah mereka saat sebagian tubuhnya terkerna cipratan air. Begitu kita mendekat ke lokasi Curug Luhur kita akan merasakan desiran air cukup kencang, apalagi kalau ada angin.
Curug Luhur memiliki dua buah air terjun yang letaknya sejajar. Salah satu dari air terjun tersebut adalah cabang baru yang dibuat oleh penduduk setempat. Jadi air yang mengalir tidak sederas air terjun utama. Setelah melepas lelah di saung sekitar curug sambil menikmati jagung bakar akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju ke Kawasan Gunung Salak Endah (GSE).
Tiket parkir jadi tiket masuk
Untuk menuju GSE, dari pintu gerbang Curug Luhur, kendaraan harus kita belokkan ke arah kanan dan seteIah beberapa ratus meter kita akan menemukan pertigaan pertama. Jalan terus saja, sampai nanti kita akan menemukan pertigaan kedua. Nah, di pertigaan ini, kita berbelok kiri, ke arah Cigamea. Kalau berbelok ke kanan, kita akan mengarah ke Cibatok.
Jarak dari Curug Luhur ke GSE sekitar 20 km. Dalam perjalanan ke GSE kita akan disuguhi pemandangan alam yang masih alami, udara yang sejuk dan segar. Dalam perjalanan ini kita cukup mengikuti arah jalan yang lurus. Tanpa terasa kita akan sampai di pintu gerbang Kawasan Gunung Salak Endah. Kawasan ini berada di hutan Pinus dan Rasamala. Pemandangan alam di sini sangat indah. Di sini kami diminta untuk membayar tiket masuk ke kawasan Sebesar Rp 20.000,-.
Di kawasan GSE ada beberapa objek wisata, antara lain Curug Cihurang, Curug Ngumpet, Curug Sewu, dan Curug Cigamea. Disamping itu ada satu pemandian air panas di Gunung Picung dan satu wisata kawah (Kawah Ratu).
Tujuan kami adalah Curug Ngumpet. Menurut penuturan petugas di pintu gerbang jarak dari pintu gerbang ke Curug Ngumpet sekitar 2 km. Dalam perjalanan menuju ke sana, tiba-tiba salah seorang teman melihat ada tanda kecil ke arah Curug Ngumpet. Jadilah kami berhenti sejenak di sini. Ternyata ada sedikit “kejutan” jalan menuju curug, ada petugas yang meminta kami untuk membayar tiket sebesar Rp 2.000,- per orang. Setelah tiket kami terima ternyata tiket itu bukan tiket masuk curug tetapi tiket parkir. Waktu kami tanyakan hal ini, dengan enteng petugas itu menjawab, memang tiketnya seperti ini.”
Ya sudahlah, perjalanan tetap kami lanjutkan. Setelah berjalan sekitar 100 m sampailah kami di suatu air terjun yang membuat kami sempat heran bercampur bingung. Curug Ngumpet-nya kok kecil sekali? Pengunjung pun sedikit dan sangat sepi. Kami sempat bertemu lima orang anak sekolah yang sedang menghabiskan waktu libur panjang mereka. Ternyata, curug itu bukan Curug Ngumpet.
Perjalanan menuju ke Curug Ngumpet dari pintu gerbang ternyata sekitar 300 m, bukan 2 km seperti yang disampaikan petugas di pintu gerbang. Jalan setapak menuju lokasi relatif mudah. Dibeberapa bagian, ada jalan setapak berbentuk tangga dengan jarak anak tangga yang cukup tinggi. Di kiri jalan ada aliran sungai dengan batu-batu besar yang menambah asri pemandangan.
Setelah berjalan kira-kira 15 menit sampailah kami di Curug Ngumpet. Air terjun ini mempunyai ketinggian lebih kurang 45 m. Sesuai namanya (ngumpet berarti tersembunyi), air terjun ini memang agak tersembunyi. Dengan panorama alam dan keasriannya, curug ini kalah menarik dengan curug lain yang ada di GSE. Di sini kita dapat beristirahat cukup lama, duduk di bebatuan besar yang ada di depan curug sambil menikmati cucuran air yang turun dengan derasnya.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 15.00. Akhirnya kami memutuskan untuk beranjak dari kawasan ini. Kami akan mengunjungi satu lagi air terjun di kawasan GSE, yaitu Curug Cigamea. Namun, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Ini pertanda kami tidak bisa turun ke Curug Cigamea karena jalan ke sana akan licin. Namun, kami patut bersyukur sepanjang perjalanan menuju ke berapa curug sebelumnya, cuaca sangat bersahabat. Akhirnya kami putuskan untuk kembali ke Bogor karena tampaknya hujan tidak akan reda dalam waktu singkat.
Dalam penjalanan menuju Bogor, kami melewati Pamijahan, Gunung Menyan, dan Dramaga (kampus Institut Pertanian Bogor berada). Akhirnya kami memutuskan untuk singgah di Kebun Raya Bogor (KRB) terlebih dahulu sebelum kembali ke Jakarta. Seusai magrib kami meninggalkan Bogor kembali ke Jakarta.
Selesai sudah perjalanan sehari ”menaklukkan” lima curug yang melelahkan, tetapi sungguh menyenangkan.
Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
Robiyati

Read more »

Menikmati 'Selingkuh' di Pulau Pramuka




Ada satu hal yang menyenangkan tiap kali mengunjungi suatu daerah: menengok pasar tradisionalnya. lnilah tempat dan kesempatan terbaik mengenal langsung kehidupan masyarakat setempat. Kadang-kadang kita dapat kejutan unik seperti yang ada di Pulau Pramuka.

Matahari masih memicingkan sebelah matanya kala saya dan Tri menghirup udara segar yang bertiup dari laut belakang Pulau Pramuka April 2006. Bersepuluh kami memilih wisma Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS) sebagai tempat menginap selama berakhir pekan. Dengan ransel kecil dan dry bag (tas kedap air) berisi kamera, kami meninggalkan teman-teman yang memilih tetap meringkuk di matras nyaman pada Minggu pagi itu

Dan gerbang belakang wisma, perlahan kami menyusuri jalan-jalan kecil yang membelah deretan rumah penduduk. Pada pukul enam pagi, semua rumah sudah membuka pintu dengan sebagian penghuni terlihat di serambi. Ada yang sekadar duduk santai sambil memangku sikecil. Ada yang sudah sibuk melayani pembeli sarapan di warung kecilnya. Inilah yang kami cari. Nasi uduk berlauk lengkap - mihun goreng, telur, ikan balado, semur tahu, kentang, jengkol, sambal kacang, dan kerupuk. Rumah sebelahnya menjajakan siomai khas pulau yang dulu bernama Pu!au Elang Ini – gumpalan sagu, terigu kecokelatan dicampur cincangan ikan. Rasanya, hmm, kalah jauh dari sioinai Bandung yang ngetop itu.

Di rumah seberang, ada bangku kecil menyanggah tampah yang dipenuhi dua macam panganan kecil. Ada ce1orot, terigu sagu manis yang digulung janur membentuk kerucut. Satu lagi dibungkus daun pisang seperti lemper, ”Ini selingkuh,” kata si penjual, ibu bertubuh gempal berbalut daster, saya cicipi, oh, teryata ketan berisi ikan cincang. “Ikan kembung,” tukas sipenjual. “Ah, bohong. Paling tongkol!” timpal tetangganya yang lewat. Mereka tertawa-tawa kecil. Lumayanlah, bisa “berselingkuh” dengan bujet seribu perak. Makan dua potong pun cukup kenyang.

Di lorong-lorong kami berkali-kali berpapasan dengan ibu-ibu penjual makanan jajanan dalam gerobak. Ada bubur kacang, empek-empek, atau sukun goreng khas Pulau Pramuka. Juga penjaja sayur. Di mana pasar tradisionalnya? Ternyata diwakili ”pasar kaget” di teras sebuah rumah besar di pojok jalan. Sayur-sayuran, buah, tempe, tahu, bumbu dapur digelar berkelompok. Penjajanya ibu-ibu juga.

Puas memotret, kami kembali ke wisma, menjumpai teman-teman se menikmati sarapan nasi plus sup ayam, ikan goreng disambali , dan kerupuk ikan seharga Rp.10.000,-yang dipesan dari jasa boga wisma. ”Lebih praktis, enak, dan murah ‘kan?” simpul Ade yang mengatur perjalanan kami. ”Soalnya lengkap dengan buah dan lauknya beberapa macam.” Memang betul, tapi saya lebih suka bertualang rasa dari perburuan

Mereka belum mandi karena jadwal berikutnya adalah snorkeling di dermaga depan Pramuka. Saya memilih memisahkan diri. Lebih tertarik melihat Bu Saadah yang tinggal 200 m dari wisma, mengolah krupuk ikan,:sukun, dan dodol rumput laut yang teIah kami beli untuk oleh-oleh.

Ikut melepas tukik

“Saya hanya menghabiskan Rp 200.000,- 250.000,- untuk wisata menginap semalam di Pulau Pramuka,” Ade, rekan saya suatu saat di awal 2006. Ia sudah melakukannya tiga kali. Menarik juga untuk dicoba, walau saya mengakrabi Kepulauan Seribu untuk menyelam sejak awal 2001. Tinggal di resort macam Pulau Sepa dan Kotok Besar Barat, saya mesti merogoh kocek dari Rp.600.000,- (tak menginap) sampai Rp.1,1 juta (menginap semalam). Itu sebelum kenaikan BBM 100% sejak 5 Oktober 2005.

April 2006 itu, saya berwisata bahari dengan gaya baru . Sabtu padi pukul 06.00, kami bersepuluh berkumpul di perempatan Grogol, Jakarta Barat, lalu naik angkot no. 01 jurusan Muara Angke. “Biasanya tarif per orang Rp.3000,- tapi hanya sampai depan pusat pelelangan ikan Muara Angke. Biar diantar sampai dermaga Muara Angke, tarif kita tambah Rp 1.000 per orang,” urai Ade.

Pukul 06.30, kami naik ojek kapal kayu berukuran 20 x 5 m, semacam feriekonomi jurusan Pulau Pramuka – Pulau Panggang yang letaknya berseberangan. Kami duduk lesehan bersama 30-an penumpang lain, termasuk 20-an wisatawan Korea yang mau menginap di Vila De’Lima. Bagian belakang kapal dipenuhi berpeti-peti telur, botol kecap, saus, dan beberapa sepeda motor yang diikat erat-erat ke badan kapal. Suasananya berbeda sekali dengan speedboat 50 penumpang dalam dua baris tempat duduk yang biasa saya. tumpangi dari dermaga Marina Ancol. Dengan ojek kapal bertiket Rp 25.000,- per orang, perjalanan ditempuh sekitar 2,5 jam. Sementara dengan speedboat bertarif Rp 100.000,- per orang hanya butuh waktu satu jam untuk sampai di Pulau Pramuka.

Kami tiba di dermaga Pulau Pramuka sekitar pukul 09.00, disambut kuli gerobak yang menawarkan jasa mengangkut barang. Setelah istirahat menyejukkan diri sejenak di Wisma Balal TNLKS yang dilengkapi pendingin udara, kamar mandi di dalam, kami menuju penangkaran penyu sisik (Eretmochelys imbricata) di sebelah.

Di sini ada program semi alami, telur-telur dipindahkan dari tempat bertelur di Pulau Peteloran Timur, di ujung utara Kepulauan Seribu. “Kalau baru menetas tempurungnya masih 1unak,” kata Pak Salim, petugas TNLKS, mengambil satu tukik (anak penyu) dari salah satu ember-ember berpasir tempat penetasan. Saya elus tempurungnya, ya, benar! Pak Salim kemudian menaburkan sejumlah cincangan ikan pada tukik-tukik di bak-bak penampungan berair laut.

Beberapa tukik juga dilepaskan. “Hadapkan ke pulau, biar dia berputar mencari laut,” kata Pak Salim. Ya, ya, ada tukik yang langsung bergerak, ada yang masih ragu-ragu. Tertatih-tatih di pasir, begitu menyentuh air langsung melesat berenang. Kendati akan berkelana ribuan kilometer, penyu akan kembali ke tempat pertama ia dilepaskan untuk bertelur. “Dari 100 penyu yang dilepas, satu saja yang bisa selamat sampai dewasa, itu sudah bagus.”

Kami masih sempat menengok rumah jaring kupu-kupu di kompleks Wisma - ragam wisata pendidikan dan pelestarian terbaru di sini yang menampilkan beragam kupu-kupu hidup dari pelosok Tanah Air - sebelum mengenakan pakaian renang untuk petualangan bahari.


”Kita patungan sewa perahu Rp. 110.00,-dan tip pemandu Rp 60.000,- per hari ya,” kata Ade. Kali ini Ade memilih Elang Eko Wisata, biro wisata milik penduduk setempat . Variasi aja, dulu Ade memilih jasa dari Balai TNKLS. Perahu mengantar kami ke keramba apung milik perusahaan pemelihara bandeng, kerapu, dan udang. Ah, ribuan bandeng hilir mudik dalam tambak-tambak apung itu.

Sebelumnya kami mampir ke baliho apung Balai TNLKS yang di sekitarnya ada program pencangkokan karang milik nelayan setempat. Di sini bisa snorkeling walau harus hati-hati jangan sampai merusak karang cangkok itu.

Perjalanan berlanjut ke Pulau Semak Daun berpasir putih tak jauh dan Pulau Pramuka, Pulau Balik Layar, dan Pulau Air.

“Pemandu akan menawarkan pulau-pulau lain kalau kita sudah pernah ke situ,” kata Ade. Tak menyelam, snorkelingpun jadi untuk menikmati indahnya terumbu karang. Biaya sewa seperangkat peralatan snorkeling (masker, selang napas, kaki katak) plus rompi pelampung yang wajib pakai demi keamanan) Rp. 45.000.- untuk Sabtu dan Minggu.

Asyik juga. Saat pulang sore, ada lumba-lumba melintas di depan dermaga Pramuka! Kami menunggu Matahari terbenam sebelum kembali ke wisma, mandi, makan malam, dan tidur! Minggu siang, setelah gerombolan Ade puas ber-snorkeling lagi di dermaga Pramuka, saya bergabung dengan mereka yang telah segar sehabis mandi, siap-siap di dermaga pukul 14.00 untuk kembali ke Muara Angke dengan ojek kapal. Ransel mereka telah terisi dengan oleh-oleh khas Kepulauan Seribu: dodol rumput laut, keripik sukun, kerupuk ikan, dan tangan menenteng kotak bandeng cabut duri beku.

Di dermaga sebelah, bersandar KM Lumba-lumba, feri pemerintah yang menuju Marina Ancol. Tarifnya lebih mahal sedikit, Rp 35.000,- per orang, dengan waktu tempuh sama, 2,5 jam. Dan ada tambahan biaya masuk kawasan Ancol Rp 10.000,- per orang. Jam berangkat dan pulangnya lebih pasti, pukul 08.00 dari Marina dan pukul 14.30 dari Pramuka. Sementara ojek kapal bisa beberapa kali sehari pergi pulang.

Ingat kenakan topi!

Pada kesempatan berikutnya, saya kembali berwisata bahari ke Pulau Pramuka. Kali ini ikut rombongan Intisari bekerja sama dengan Balai TNLKS. Walau cuma perrjalanan sehari, pergi pagi pulang petang dari Marina Ancol, ada dua programnya yang saya incar: dalam perjalanan pulang akan mampir di Pulau Kotok Besar Barat dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Maklum, untuk ke Pulau Rambut tak sembarangan orang bisa masuk, harus mengurus izin dulu ke PHPA Kehutanan setempat.. Jadi, Ini kesempatan yang mesti disambar.

Pulau Kotok Besar Barat adalah resort berkonsep alami. Letak pondok-pondok tamu berjauhan, dirimbuni tanaman suji, kembang sepatu, dan pepohonan khas pesisir macam kelapa dan pandan pantai yang akar gantungnya menjulang tinggi. Menyusuri pantai pasir putih yang dipenuhi kelomang , di perairan tepi di antara padang lamun, kalau jeli, kita bisa menemukan anak-anak ikan pari, tripang dan kepting.

Hewan laut memnag gemar bertelur dan membesarkan anak-anaknya di situ. Dipantai bagian belakang, ada menara pandang untuk menikmati bayangan karang di beningnya air laut yang tenang. Atau mengamati sejumlah elang bondol (Haliastur indus), Si maskot Jakarta, dalam kandang besar jaring kawat beberapa meter dari situ. Satwa-satwa itu sedang menjalani program penyesuaian pelepasliaran.

“Pakai topi, ya,” wanti-wanti petugas TNLKS kala kami mendarat di surga burung Pulau Rambut. Ya, biar kepala kita tak kejatuhan “ranjau” dari gangau blekok, pecuk ular, dan lain-lain yang berterbangan..Di sini pun ada menara pandang yang membuat kita lebih bebas mengamati elang bondol melayang. Saat menyusuri rimbunan semak menuju pantai, sempat terlihat ada biawak sedang memasuki liangnya di sekitar pohon besar.

Walau belum puas di sini, lumayanlah, kali lain saya ingin ikut rombong Sahabat Burung Indonesia untuk lebih leluasa mengamati kehidupan liar di sini. Lima belas menit kemudian kami merapat di Marina Ancol.

Note : tulisan di ambil dari perjalanan penulis pada tahun 2006. Untuk biaya tranportasi dan akomodasi, sedikit mengalami perubahan.


Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
Christantiowati

Read more »

GREEN CANYON INDAH DAN MURAH MERIAH



Jangan salah, ini bukan Grand Canyon yang ada di Calorado, Amerika Serikat sana. Namun Green Canyon , nama alias untuk Cukang Taneuh (jembatan dari tanah). Daerah yang terletak di hulu Sungai Cijulang ini memiliki pesona alam yang lain dari kebanyakan hulu sebuah sungai: air terjun. dinding karang, dan kubah mirip gua lengkap dengan stalagmit dan stalagtitnya. Untuk ke sana cukup waktu sehari!
Dari Jakarta untuk sampai ke Green Canyon yang terletak di Desa Cijulang, Ciamis Selatan, Jawa Barat ini hanya dibutuhkan waktu delapan jam menggunakan angkutan umum. Namun, kalau ingin menikmati panorama Jawa Barat yang masih asri, harus berangkat pagi-pagi. Nasib saya dan seorang teman rupanya apes, sebab ketika sampai di Pangandaran, hari sudah malam. Terpaksa kami menginap di Pangandaran semalam dan esok paginya baru berangkat ke Cijulang.
Lokasi Green Canyon memang tak jauh dari Pangandaran, sekitar 30 km. Jadi, bisa dijadikan satu paket wisata Pangandaran, sebab infratsruktur di Pangandaran lebih tertata dibandingkan dengan Cijulang.
Kami tiba di Pangandaran pukul 21.00. Oleh seorang ibu pemilik warung tempat kami mengisi perut, kami disarankan untuk menginap dulu di Pangandaran. Tak banyak persoalan menginap di sana. Sepanjang pantai banyak hotel maupun wisma yang berjajar rapi siap menampung para wisatawan. Tarifnya beragam, mulai Rp.60.000,- hingga ratusan ribu rupiah semalam per kamarnya.
Berburu Sunrise
Mumpung menginap di Pangandaran, subuh-subuh sekitar pukul 05.00 kami sudah bangun dan menuju pantai sambil menenteng kamera. Apalagi kalau bukan sunrise yang kami buru. Bentuk semenanjung dan pantai Pangandaran membuat kita bisa menikmati Matahari terbit di sisi pantai timur dan tenggelam di sisi pantai barat. Berhubung jarak wisma ke pantai sisi timur lumayan jauh, kami menyewa sepeda yang tersedia di sepanjang pantai. Tarifnya Rp 3.000,- untuk sepeda jenis tunggal dan Rp 5.000,- untuk jenis tandem.
Pemandangan pantai timur cukup mempesona. Di sebelah kanan terlihat perbukitan yang memanjang, sementara di sisi kiri terdapat perkampungan nelayan dengan beraneka perahu tradisional. Di sisi kanan juga terdapat hutan
cagar alam Pananjung yang dipakai sebagai penyangga ekosistem sekaligus tujuan wisata. Seperti juga di pantai barat, sepanjang pantai timur juga sudah dipenuhi kios cinderamata, penginapan, dan toko kelontong. Setelah puas memotret Matahari terbit dan perahu nelayan yang bersandar tenang di pantai, kami menikmati bubur ayam khas Pangandaran.
Dalam perjalanan pulang, kami pun mencoba ngobrol seputar Cagar Alam Pananjung dengan Mamat, salah seorang pemilik perahu sewa. Sayang, niat kami hanya ke Green Canyon. Padahal dan foto-foto bawah laut yang dia perlihatkan, kami sangat tertarik. “Harga sewa perahu termasuk pemandu Rp 350 ribu. Kalian bisa memutari Cagar Alam Pananjung sekaligus menikmati panorama bawah laut di sekitamya,” ungkap Mamat sambil menambahkan, satu perahu bisa muat enam hingga tujuh orang dengan enam situs yang bisa dikunjungi di dalam cagar alam.
Dari Terminal Pangandaran kami menumpang sebuah mobil omprengan yang mangkal berjejer menunggu penumpang. Setelah sekitar 10 menit ngetem, akhirnya berangkat juga meski hanya kami penumpangnya. Tenyata omprengan itu mencari penumpang lagi di Pasar Pangandaran yang jaraknya tak sampai 200 m. Beruntung di sini banyak penumpang naik, terutama para ibu dengan aneka rupa belanjaan.
Perjalanan menuju Terminal Cijulang cukup mengasyikkan juga. Selain diisi dengan ramainya percakapan para ibu, panorama alam yang ditawarkan langsung mematri mata untuk terus memandang. Hijaunya pedesaan dengan pohon-pohon rindang di kiri-kanan jalan diselingi hamparan sawah dengan padi yang hampir menguning. Tak kurang menarik diperhatikan adalah rumah-rumah penduduk yang rata-rata tak kalah bagus dengan rumah di kota. Aspal hotmix membuat kami leluasa menikmati pemandangan itu semua.
Sekitar setengah jam perjalanan kami melihat sebuah papan besar penunjuk arah. “Batu Hiu”, Begitu tulisan yang terbaca. Menurut penuturan sang sopir, tempat itu adalah pantai dengan sebuah karang besar yang memiliki panorama cukup menarik. Konon karang tersebut akan berbentuk seperti sirip ikan hiu bila air laut pasang. Mobil omprengan kami tetap melaju perlahan menuju terminal Cijulang.
Tak lama kemudian, sebuah papan penunjuk kembali kami baca”Green Canyon 5 Km”. Kami pun menarik napas lega. Tak lama lagi kami tiba di tempat tujuan.
Tebing- tebing berakar
Begitu turun dari mobil omprengan tukang ojek sudah bisa membaca gerak-gerik kami. Ongkos Rp 5000,- pun kami sepakati untuk biaya antar dari terminal ke Dermaga Ciseureh yang berjarak 2 km. Kami rasa ongkos itu terlalu mahal. Namun tak apalah. Yang bisa cepat sampai, pikir kami. Nanti kami bisa menumpang kendaraan lain berupa angkutan pedesaan yang meskipun jarang melintas, cukup murah meria dengan ongkos cuma Rp 1.000,- per orang.
Begitu sampai di Dermaga Ciseureuh, rasa penasaran kami terbayar lunas. Di gerbang masuk ini kebersihan patut diacungi jempol. Kami pun tak diganggu oleh pedagang keliling yang biasa menjajakan cinderamata. Semua begitu tenang dan asri di bawah kerindangan pohon. Setelah membayar Rp 51.000,- untuk retribusi, sewa perahu, dan asuransi, kami pun dibimbing oleh seorang pemandu muda menaiki sebuah perahu motor bermesin tunggal. Sebelumnya, kami memotret lingkungan sekitar yang masih asri dengan perahu-perahu kecil berwarna-warni yang bersandar di dermaga.
Di sepanjang perjalanan dengan perahu yang bersuara menderu-deru mata kami dimanja dengan panorama hutan dengan deretan rumpun bambu dan pohon-pohon tropis yang lebat, persis kayak hutan Amazon yang biasa kami saksikan di televisi.
Pada daerah-daerah tertentu, pengemudi sengaja memperlambat laju perahu untuk memberi kami kesempatan mengabadikan panorama alam yang ditawarkan. Tak hanya panorama hutan tropis yang kami nikmati di kiri-kanan sungai dengan lebar kurang lebih 10 m itu. Dinding tanah setinggi puluhan meter dan air terjun mini bisa kami saksikan sepanjang sungai yang menurut penuturan Ujang, sang “kapten” perahu, berkedalaman sekitar 10 m.
Perlu waktu sekitar 40 menit untuk menempuh jarak menentang arus sepanjang 3 km itu agar bisa sampai di hulu sungai. Disinilah petualangan makin menjadi-jadi.Cukang Taneuh alias Green Canyon sudah di depan mata. Kamera pun kami jaga baik-baik karena kucuran air memerciki perahu kami dari dinding-dinding tebing yang ada di kiri-kanan sungai. Perahu pun harus berkelok perlahan menghindari batu besar yang ada di depannya. Tak sampai lima menit, sampailah kami di ujung sungai yang tak bisa dilalui perahu. Sebuah batu karang besar jadi batas akhir perjalanan perahu yang kami tumpangi.
Dengan cekatan, Ujang dan temannya menyandarkan perahu di bibir batu karang tersebut. Ternyata di sinilah letak Green Canyon yang sudah cukup dikenal itu. Tempatnya mirip gua dengan tebing setinggi kira-kira 50 m di sisi kiri dan kanan. Tebing-tebing ini ditempeli dengan akar-akar pohon yang menyembul dan setiap waktu mengucurkan rintik-rintik air.
Daerah ini juga dipayungi oleh sebuah kubah besar alami yang dipercantik dengan hadirnya stalagmit dan stalagtit di sana-sini. Warna cokelat kegelapan dipadu dengan hijaunya pepohonan rindang membuat kami betah berlama-lama sembari menikmati gemercik air yang menetes dan dinding-dinding tebing serta air sungai yang menabrak batu cadas yang terhampar di sekeliling kami.
Biayanya murah
Ternyata ada pemandangan yang lebih bagus lagi. “Di air terjun,” ujar salah satu pemandu kami. Sayangnya, untuk mencapai daerah itu hanya ada satu cara: berenang. Lebih celaka lagi, meski ada pelampung, kami tak berani berenang di arus yang tenang itu untuk sampai ke lokasi air terjun Palatar. Menurut informasi, beberapa pengunjung telah menjadi korban di daerah ini lantaran kelelahan saat berenang atau tak cukup punya persiapan untuk menantang arus sungai sepanjang sekitar 200 m itu.
Akan tetapi, seorang turis asing yang datang belakangan tak mau melewatkan begitu saja panorama air terjun Palatar. Sejak awal kedatangannya, turis kulit putih yang tampaknya sedikit mengerti bahasa Indonesia itu langsung saja menceburkan diri menghampiri air terjun. “Rugi kalau tidak sampai ke air terjun,” tukasnya kepada kami seraya mengenakan pelampung.
Rugi atau tidak bagi kami relatif. Setelah sekitar sejam menikmati pemandangan Green Canyon, kami pun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kami mengobrol dengan Ujang. Dari mulutnya kami baru tahu, “Awak perahu di sini harus memiliki surat izin kemudi layaknya SIM agar bisa melayani wisatawan yang datang.”
Pihak pengelola pun tampaknya tak mau ambil risiko. Setiap perahu maksimal hanya boleh ditumpangi lima orang plus dua awak perahu. Untuk masing-masing penumpang juga harus disediakan pelampung keselamatan. “Kalau melebihi kapasitas atau melanggar peraturan, pemilik perahu akan dikenai sanksi tak bleh mengambil penumpang di dermaga selama lima kali berturut-turut dan yang dijadwalkan,” tambahnya lagi.
Tak terasa hari mulai siang. Setelah memotret beberapa titik, kami pun bergegas pulang. Sayang, di Terminal Pangandaran bus langsung yang melayani jalur Pangan- daran - Bekasi hanya bisa didapat mulai petang hingga pukul 20.30. Tanpa perlu menunggu lama, kami memutuskan untuk naik bus jurusan Tasikmalaya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Dalam perjalan pulang itu kami mencoba iseng menghitung pengeluaran kami. Ternyata cukup murah! Masing-masing hanya mengeluarkan biaya Rp 180.000,-. Itu pun masih bisa ditekan lagi bila pergi berombongan sekitar 5 – 10 orang. Untuk panorama seindah Pangandaran dan Green Canyon, kami merasa sangat beruntung hanya mengeluarkan dana seminim itu. Lain waktu kami benjanji akan datang lagi.
BANYAK JALAN MENUJU GREEN CANYON
Bagi mereka yang tinggal di Jakarta dan ingin menggunakan angkutan umum, bisa menuju ke Terminal Bekasi atau Terminal Kampungrambutan. Anda tinggal memilih satu dan dua armada bus yang melayani trayek menuju Pangandaran. Silakan menikmati perjalanan selama sekitar delapan jam. Dari Terminal Pangandaran, gantilah dengan angkutan pedesaan. Waktu ternpuhnya kira-kira 45 menit. Kalau Anda sedang di Tasikmalaya, ada trayek Tasikrnalaya – Cijulang menggunakan minibus. Ongkosnya Rp 15.000,- dengan lama perjalanan kurang lebih dua setengah jam. Green Canyon bisa juga ditembus melalui Ciamis.
Pilih sesuai, yang Anda suka!
Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
Silvester Sila Wedjo

Read more »

Popular Posts

counter