EKSOTISME KEPULAUAN TUKANG BESI


BAGI pehobi snorkling dan diving, Wakatobi pastilah masuk dalam dattar 10 kepulauan terindah dari “negeri khatulistiwa” ini. Apa yang membuat Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara begitu eksotis bagi para wisatawan? Kawasan pulau dan terumbu karang di sana yang masih asli dan alami sangat kaya dengan biota laut yang tak kalah indahnya. Hamparan pulau yang juga dikenal dengan sebutan Kepulauan “Tukang Besi” ini memiliki 25 gugusan terumbu karang dengan beraneka ragam spesies yang memunculkan berbagai bentuk karang yang unik dan spesifik.

Gugusan terumbu karang tersebut juga menjadi habitat berbagai jenis ikan hias dan makhluk laut lain, seperti cacing laut, moluska, dan tumbuhan laut. Beberapa jenis ikan karang yang hidup adalah ikan bendera, batona, dan napoleon. Selain itu, di sekitar kawasan Wakatobi hidup pula ikan hiu, lumba-lumba, dan paus. Begitu kaya dan uniknya kehidupan laut di Wakatobi, pada 1996, pemerintah menetapkan kawasan itu sebagai taman nasional.

Kebijakan itu menarik para ilmuwan laut untuk meneliti kekayaan terumbu karang dan biota laut di sana. Salah satu tim yang terjun ke sana adalah Yayasan Pengembangan Wallacea melalui Operasi Wallacea. Penetapan pemerintah dan laporan operasi Wallacea memancing investor swasta asal Swiss, Lorents Mader, untuk membangun sebuah bungalo bertaraf internasional sebagai sarana untuk menikmati keindahan taman laut di sana.

Bungalo yang disebut Wakatobi Dive Resort itu terletak di sebuah pulau kecil yang disebut Onemoba, persis di depan Pulau Tomia. Pembangunan Dive Resort itu ikut memicu pengembangan wisata di sana. Warga mulai memasok tenun Tomia, dan para pandai besi menyediakan benda-benda hasil kerajinan dan besi sebagai cenderamata. Selain itu, mereka juga terlibat dalam pertunjukan kesenian bagi wisatawan yang datang.

Di samping Putau Tomia, wisatawan bisa juga menikmati keindahan dasar laut di sekitar Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, dan Binongko. Wakatobi sendiri diambil dari nama empat pulau besar di sana, yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Kini di sana tercatat ada Iebih dari tujuh sarana penginapan dengan 50 lebih kamar dan 100-an tempat tidur. Wisatawan yang sudah jenuh dengan snorkling dan diving bisa menikmati pemandangan pantai, mandi sinar matahari, menyusuri gua, fotografi, dan berkemah.

Yang berjiwa petualang lebih suka datang ke Wakatobi pada Juli – September, karena pada saat itu ombak laut bisa setinggi pohon kelapa. Untuk yang mudah mabuk laut, ada baiknya datang pada bulan Oktober – Desember, agar bisa leluasa menikmati keindahan laut di kepulauan antara Laut Banda dan Laut Flores itu. Saat itu ombak relative lebih tenang. Untuk sampai ke Wakatobi, wisatawan bisa menempuh perjalanan laut lima – enam jam dengan kapal cepat dari Kendari menuju Bau-bau sebagai tempat transit.

Dari Bau-bau, wisatawan melanjutkan ke Wanci, pintu gerbang ke Wakatobi, dengan kapal laut. Sayang, perjalanan tak bisa langsung dilakukan karena jadwal penyebrangan yang terbatas. Sebagai alternaltif wisatawan dapat menempuh perjalanan darat selama tiga jam ke Lasahimu, kecamatan sebelah tenggara Bau-bau. Selanjutnya wisatawan dapat melanjutkan perjalanan ke Wakatobi dengan jadwal penyeberangan sekali dalam sehari, yakni pukul 06.00 waktu setempat.

Perjalanan ke Wakatobi memang tak praktis, lama, dan melelahkan. Toh, wisatawan yang tak mau tersita waktunya dapat ke Wakatobi dengan cepat, asalkan cukup berkantong tebal. Sejak 2001, kapal udara sudah menjangkau wilayah kepulauan di timur Buton itu. Kebanyakan wisatawan mancanegara yang menggunakan jasa tersebut. Itu pun hanya bisa melalui Denpasar-Pulau Tomia (Wakatobi) dengan jadwal penerbangan 11 hari sekali.

Meskipun penerbangan melalui laut relatif lama, dan lewat udara cukup mahal, jumlah waisatawan setiap tahun selalu naik. Rata-rata tiap tahun meningkat 20% dari tahun sebelumnya. Misalnya pada 2002 tercatat 540 orang, naik 22 % dari tahun2001. Pariwisata merupakan aktivitas ekonomi baru bagi Kabupaten Wakatobi, dan memiliki prospek bagus.

Dengan promosi pariwisata yang intensif dan terarah, diharapkan pada masa mendatang komoditas jasa tersebut bisa memberikan sumbangan lebih besar bagi Wakatobi. Partisipasi masyarakat Wakatobi untuk memajukan pariwisata laut juga harus terus ditumbuhkan. Salah satu caranya adalah dengan keikutsertaan mereka dalam pelestarian lingkungan alam dan laut di sana.

Ancaman kehancuran terumbu karang masih selalu membayang. Maklum, banyak masyarakat nelayan Wakatobi dan dari luar yang masih menggunakan bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan. Kegiatan yang melanggar hukum itu telah merusak terumbu karang dan ekosistem di dalamnya. Dalam situasi demikian, masyarakat harus diberi pemahaman bahwa matinya terumbu karang berarti lenyapnya populasi ikan dan hancurnya eksostisme laut Wakatobi.



Majalah : Gatra
G.A. Guritno 

Popular Posts

counter