MENYELAMI PENINGGALAN PERANG DUNIA II DI MANOKWARI


-->
Menyelam tak harus ke taman laut yang indah. Ke wreck tempat peninggalan sejarah Perang Dunia II pun akan memberi kepuasan tersendiri. Itulah yang kami lakukan di Manokwari.

Agustus 2006 yang cerah, kami bersebelas memasuki kapal Putri Papua milik Grand Komodo di pelabuhan Anggrem, Manokwari. Kami hendak berlayar menuju Mapia Atol. Rasa kantuk akibat kurang tidur sirna seketika. Padahal, pagi harinya, pada pukul 03.45 kami sudah harus berkumpul di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Oooaah, malam hari sebelumnya saya nyaris tidak tidur, mempersiapkan peralatan menyelam yang akan dibawa hari ini.
Dalam rombongan kami terdapat teman-teman penyelam dan Corona Diving Club beberapa daerah, seperti cabang Jakarta, Lampung, dan Palembang. Dive master yang akan mendampingi kali ini Weka dan Noah. Weka sudah tidak asing lagi karena pernah mendampingi kami waktu menyelam ke Raja Ampat, dua tahun lalu. Terbayang, betapa menyenangkannya menyelami lokasi baru yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.
Amanat Sang Kakek
Pulau Mapia adalah pulau yang berada di posisi terluar di atas kepala burung Papua. Setelah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diambil Malaysia, kini pulau ini menjadi salah satu pulau terluar yang dijaga ketat oleh Angkatan Darat dan Angkatan Laut TNI. Hanya sayangnya, mereka tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai. Hal ini terlihat berbeda jauh dengan ketika kami menyelam ke Pulau Sipadan setahun sebelumnya. Di sana tentara Malaysia tampak begitu berwibawa dengan peralatan lengkapnya menjaga pulau tersebut.
Perjalanan yang biasanva memakan waktu sekitar 15 jam mengarungi Samudra Pasifik. kali ini molor jadi 20 jam. Penyebabnya, imbas badai di Filipina yang terjadi sehari sebelumnya. Alun gelombang yang tingginya mencapai 2 - 3 m membuat perjalanan kali ini luar biasa buruknya. Kapal berayun ke kiri dan ke kanan menimbulkan mabuk dan mual. Akhirnya ketika kami tiba di Mapia, hanya tersisa sedikit semangat dengan harapan menemukan lokasi penyelaman yang indah sebagai kompensasi pelayaran yang buruk ini.
Walaupun kami sudah menikmati asyiknya menyelam di Karang Barasi, Mercu Suar, dan Mulut Atol, rasa mual dan mabuk belum juga hilang, bahkan tambah menyiksa karena gelombang tidak kunjung reda. Mempertimbangkan kondisi teman-teman yang tidak bisa menikmati penyelaman ini, kami memutuskan untuk kembali ke Manokwari dan melakukan penyelaman kapal tenggelam di sana. Mestinya, penyelaman pengganti ini tidak kalah menariknya.
Menurut catatan-catatan kuno, ada lebih dan 400 kapal pernah tenggelam di seluruh perairan Indonesia. Kapal-kapal itu membawa banyak muatan barang-barang berharga seperti keramik, emas, perak, muatiara dan timah dalam jumlah besar. Selain itu juga ada kapal dengan muatan candu. Sayangnya, barang-barang tersebut sering diambil dengan tidak bertanggung jawab, sehingga menghilangkan data sejarah penting yang ada di dalamnya. Demikian juga kekayaan bernilai tinggi ikut terbang.
Irian Jaya di masa Perang Dunia II dulu menyisakan banyak kapal atau pesawat terbang yang tenggelam di perairannya. Yang terbanyak konon ada di sekitar Biak. Teluk Doreri di Manokwari adalah lokasi yang terlindung dari angin dan gelombang serta memiliki jarak pandang bawah air yang bagus. Seluruh badan kapal bisa terlihat dengan jelas. Menurut informasi yang diperoleh, ada lima lokasi wreck yang bisa di selami di sekitar perairan ini, sebagian besar adalah kapal dan hanya satu persawat.
Wreck pertama adalah Camauba. Pesawat capung P40 yang konon milik keluarga Johnson di Amerika Serikat, sempat dijual kepada orang Belanda. Pesawat ini kemudian dipakai untuk mengantar obat-obatan ke Manokwari selama masa Perang Dunia II. Dalam sebuah tugas, pesawat ini mengalami kerusakan mesin dan jatuh di Karang Tengah, di depan Mercusuar Teluk Doreri, Manokwari, pada kedalaman 30 m. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Pilot kemudian menandai posisi jatuhnya pesawat secara visual.
Mungkin erat kaitannya dengan sejarah keluarga, maka ketika sudah jaya, keluarga Johnson mendapat amanat dari sang Kakek pemilik pesawat, agar para penerusnya berusaha mencari pesawat tersebut. Diketahui beberapa kali keluarga Johnson datang ke Indonesia untuk mencari keberadaan pesawat tersebut, namun belum menemukannya.
Juli 2006, mereka datang kembali dengan membawa arkeolog, sarjana mesin, dan kru underwater film. Kali ini mereka beruntung, dengan bantuan dive master Grand Komodo pesawat tersebut bisa ditemukan. Kegembiraan tercermin di wajah sang Nenek dan anak cucunya. Barangkali mereka bahagia bisa melaksanakan amanat sang Kakek. Sebongkah batu yang sudah disiapkan dan dibawa dari Amerika Serikat ditaruh di depan bangkai pesawat, bertuliskan: I am Carnauba My true home is not this bay But the hearts of all who love adventure
Ketika kami melakukan penyelaman di Carnauba. rasanya seperti mengunjungi museum. Sebelum berkunjung sudah disuguhi sejarahnya. Carnauba menjadi satu satunya lokasi wreck yang ada keterangannya di dasar laut. Yaitu tadi, persis seperti di museum.
Di bawah sayap pesawat sebelah kiri terbaring malas seekor whobbegong, yang kami sebut sebagai hiu bego karena malas sekali. Tidak seperti ikan hiu umumnya yang kesannya garang, kerja hiu ini hanya diam di tempat sekalipun diganggu. Kerap kali kami menemukan bekas berbaringnya yang sudah berbekas cetakan badannya. Jadi bisa dibayangkan berapa lama hewan itu sudah berbaring di sana tanpa mengubah posisinya. Hiu jenis ini juga banyak ditemui ketika kami melakukan penyelaman di Raja Ampat.
Serangan ikan giru
Penyelaman kedua dilakukan di bangkai kapal Shinwa Maru. Kapal ini konon adalah kapal Jepang pengangkut peralatan militer seperti panser, meriam, bom, dll. Kapal yang ditorpedo sekutu pada tanggal 12 Agustus 1944, ketika masa Perang Dunia II, terbalik di dasar laut pada kedalaman 16 - 32 m. Kapal ini cukup besar dan tinggi, panjangnya 144 m. Bekas torpedo menyisakan lubang yang cukup besar. cukup untuk dimasuki tiga orang penyelam sekaligus.
Ruangan dalam cukup luas, kami leluasa menjelajahinya. Untung para dive master sudah mengingatkan kami untuk membawa senter apabila ingin melihat bagian dalam kapal. Di dalam terlihat mobil panser dan meriam yang masih jelas bentuknya, sekalipun sudah ditumbuhi karang keras dan lunak. Selain itu juga terdapat beberapa torpedo dan penyapu ranjau. Menarik sekali.
Sasaran berikutnya, Cross Wreck. Dinamakan Cross Wreck karena lokasi kapal tenggelam ini persis berada di depan monumen berbentuk salib besar, tidak jauh dari gereja Lahai Roi, Pulau Marsinam. Menurut informasi yang kami peroleh, di pulau inilah pada tanggal 5 Februari 1885 para misionaris untuk pertama kali singgah dan menyebarkan agama Kristen Protestan. Setiap tahun pa pada tanggal bersejarah ini masyarakat memperingati secara besar-besaran sebagai Hari Turunnya Injil Tuhan di Tanah Papua.
Kapal pengangkut barang milik Jepang ini kena tembak sekutu sampai terbelah dua pada posisi 200 m dari bibir pantai. Kapal berukuran panjang 35 m dan lebar 8 m itu kini tergeletak di kedalaman 26 m. Sekujur tubuhnya ditumbuhi karang keras dan lunak, dan menjadi tempat hidup ikan-ikan kecil beraneka jenis dan warna. Sungguh indah sekali, apalagi ditunjang oleh bidang pandang yang jernih, kira-kira 30 m, serta dasar laut berpasir putih bersih. Bagian dalam kapal bisa dimasuki melalui jendela besar. Banvak ditemukan botol-botol sake, peluru-peluru denapan, bom dan ranjau.
Karena kekhawatiran kemungkinan masih aktifnya bom dan ranjau ini, kami tidak diizinkan menyentuh, memegang, atau mengetuk-ngetuk barang tersebut.
Beberapa kali kami mengelilingi badan kapal dan menikmati keindahan karang lunak yang tumbuh dan menyatu di sana. Beberapa ekor ikan giru sedang menjaga telurnya dan kelihatan marah ketika kami mendekat. Mungkin menduga telurnya hendak diganggu. Tanpa rasa takut mereka “terbang” tinggi dan menyerang siapa pun yang mencoba mendekat. Teman saya tampak terkejut mendapat serangan yang tidak terduga ini. Kami yang melihatnya spontan tertawa, walaupun tidak bisa mengeluarkan suara
Tinggal sepenggal
Tujuan keempat kami adalah wreck Pill Box. Nama pill box berasal dari istilah pos penjagaan tentara Jepang yang terletak di pinggir pantai. Objek yang kami lihat adalah kapal pengangkut barang milik Jepang yang tenggelam di kedalaman 18 m, tidak jauh dan pill box, kira-kira 35 m dari bibir pantai. Kapal tersebut berukuran panjang 45 m dan lebar 12 m. Ia tenggelam dengan posisi menyamping kanan lantaran ditembak di bagian belakang. Bagian kiri belakangnya terbuka lebar, sehingga memudahkan penyelam memasuki badan kapal. Bagian atas sudah di- tumbuhi karang-karang lunak dan keras sehingga membentuk pemandangan indah.
Teman-teman saya paling senang di lokasi ini karena banyak objek foto yang bisa dibidik. Kami menemukan beberapa ekor nudibranch yang cantik, anemone crab, mantis shrimp, udang, dan ikan kecil yang bekeja sama menggali lubang. Asyik sekali mengamati kerja sama kedua hewan ini. Udang menggali lubang dengan cara mengambil batu karang kecil satu per satu keluar dari lubang dan ikan dengan sabarnya berjaga-jaga di depannya. Apabila ada gerakan sedikit saja, kedua hewan ini dengan gesit langsung lenyap ke dalam lubang.
Terakhir, kami menyelam di wreck Sepenggal. Disebut sepenggal karena di sini terdapat kapal karam yang tinggal sepenggal. Kapal pengangkut barang milik Jepang tersebut sebenarnya terbelah dua terkena tembakan sekutu dan karam di depan Pulau Pasirido pada kedalaman 20 m. Namun, belahan satunya tidak ada lagi sehingga hanya tinggal sepenggal, istilah lokal untuk menunjukkan bahwa kapal tinggal separuhnya. Kapal ini berukuran kecil dan banyak ruangan, sehingga tidak memungkinkan penyelam untuk menjelajahi bagian dalamnya.
Saat ini kapal sudah ditumbuhi karang keras dan lunak, sehingga menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil aneka jenis. Pada beberapa bagian kapal ditemukan kelinci laut atau nudibranch berbagai jenis, seperti Chromodoris sp. dan Nembrota sp. Juga ditemukan stone fish yang kaku tidak bergerak. Segerombolan transparent shrimp berwarna ungu terlihat sedang asyik bermain di dalam sebongkah kayu. Mereka ini menjadi sasaran bidikan kamera karena sangat cantik bila difoto. Selain itu juga banyak ditemukan udang pembersih atau cleaner shrimp serta pipe fish.
Jarak pandang yang cukup bagus, sekitar 30 m membawa kepuasan tersendiri bagi para penyelam. Penyelaman di kapal dan pesawat karam menutup perjalanan penyelaman kami. Besok kami kembali ke Jakarta. Walaupun perjalanan ke Mapia tidak membuahkan hasil maksimal, kami semua tetap menikmati perjalanan kali ini. Sebagai penyelam kami memaklumi kondisi alam yang sering kali tidak bisa ditebak.
Sumber : Majalah Intisari
Foto : Majalah Intisari
Lillie Chow

Popular Posts

counter